teradesa.com. Makin kesini, sebetulnya makin prihatin dengan kondisi kebangsaan saat ini. Eksotika kehidupan kalangan masyarakat high class bergerak kearah korup, hedon dan akrab dengan budaya flexing. Kalaupun terdapat kegiatan sosial diframming entah untuk tujuan apa? Kebijakan-kebijakan dilahirkan untuk kepentingannya sendiri. Kita memerlukan kepemimpinan sederhana, berintegritas. Ah emboh wes.
Entahlah, sepertinya masyarakat sudah speechless dan acuh terhadap tingkah polah mereka. Kompleksitas problem kebangsaan menghadirkan pesimisme terhadap masa depan bangsa. Maka wajar, dikalangan Gen Z muncul tagline “KaburAjaDulu”. Apa yang bisa diharapkan hidup disini? Hidup sederhana, mungkin jawaban apatis. Begitulah, misal sikap al-Ghazali saat itu yang diambil bisa dijadikan pembelajaran. Mencari kebahagiaan sendiri ajalah!
Epikuros mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketenangan jiwa (ataraxia), bukan kesenangan sesaat yang hedon dan flexing. Filsuf Yunani kelahiran Samos tahun 341 SM ini mendirikan sekolah filsafat The Garden di Athena, sebuah komunitas egaliter yang menerima perempuan dan budak, sesuatu yang langka pada masanya. Hidupnya sendiri mencerminkan kesederhanaan. Ia memilih makanan sederhana dan menghindari hiruk-pikuk politik.
Epikuros percaya bahwa filsafat harus menjadi “obat jiwa” yang membebaskan manusia dari rasa takut. Takut kelaparan, takut pada penguasa, dan takut-takut lainnya yang membuatnya semakin tidak berkembang dengan tetap mempertahankan ritme kesederhanaan. Prinsipnya ini selaras dengan Q.S. Ṭāhā [20:81] yang memerintahkan umat Islam untuk memakan rezeki yang baik tanpa berlebih-lebihan.
Dilain pihak, Al-Ghazali lebih menekankan orientasi hidup yang tenang, ia menyebutnya sebagai sakīnah. Sakīnah merupakan buah dari keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Bagi al-Ghazali dan Epikuros bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus dikejar, melainkan hasil sampingan dari hidup yang terukur.
Kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan atau materialis dalam al-Qur’an disebut “surur”, bukan “sa’adah”. Surur adalah kesenangan yang menghancurkan atau menghanyutkan sebagaimana ceritanya Fir’aun dan Qorun. Kesenangan yang menghanyutkan atau menghancurkan (surur) menempati hierarki terendah dari 7 konsep kebahagiaan dalam al-Qur’an. Epikuros menulis surat kepada Menoikeus, “Kami mengejar kesenangan yang menenangkan, bukan yang menghanyutkan”.
Epikuros membedakan tiga jenis keinginan; Alami dan perlu (seperti makan), alami tapi tak perlu (makan mewah), serta tak alami (seperti kekuasaan). Hanya kategori pertama yang wajib dipenuhi. Allah swt didalam Q.S. al-Baqarah [2:286] mengingatkan bahwa Allah swt tidak membebani manusia di luar kemampuannya. Karenanya hidup sederhana dan apa adanya adalah akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang menenangkan, ini relevan dengan trend hidup minimalis
Al-Ghazali dalam kitabnya, Kimiyā al-Sa’ādah mengklasifikasikan kebutuhan sebagai ḥājah (kebutuhan dasar) versus hawa (nafsu berlebih). Contoh konkretnya, memilih rumah sederhana yang memadai lebih bijak dan dapat mendatangkan ketenangan daripada menumpuk untuk membangun rumah megah atau nuruti gengsi dan bergaya flexing.
Kesederhanaan menjadi kunci. Epikuros mencontohkan roti dan air sebagai makanan yang cukup untuk memuaskan lapar. Al-Ghazali menambahkan bahwa zuhud (sikap tidak terikat dunia) bukan berarti miskin, melainkan mengelola keinginan secara bijak. Q.S. Al-A’rāf [7:31] menegaskan, “makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan”. Di era modern, filosofi ini relevan dengan gerakan digital detox, yaitu menjauhi gawai untuk menemukan ketenangan.
Untuk itu, Epikuros menganjurkan menghindari politik dan konflik sosial melalui prinsip, “hidup dalam persembunyian”. Sementara, al-Ghazali mengkritik ambisi politik yang meracuni jiwa, tetapi tetap menekankan pentingnya keseimbangan. Mengisolasi diri total bukan solusi, karena manusia tetap perlu berinteraksi sosial tanpa terjerat permusuhan. Mungkin ke depan perlu mendiskusikan konsep “politik intransitive”
Konsep kemandirian (autarkeia) Epikuros menekankan kebahagiaan dari rasa cukup. Sementara, al-Ghazali menghubungkan ini dengan konsep tawakal, yang bersandar pada Allah swt setelah berusaha maksimal. Hal ini relevan dengan Q.S. Al-Ḥadīd [57:23] yang mengajarkan untuk tidak bersedih atas apa yang luput dari kita. Sumber dari ketidakbahagiaan adalah apabila seseorang terlalu berorientasi ada ekspektasi, bukan realita. Cak Nur