teradesa.com. Tiga hari berada di Mina cukup menyenangkan. Ibadah utamanya adalah melontar jumrah, sholat berjamaah, berdzikir, mendengarkan ceramah agama, dan membaca al-Qur’an. Diperkemahan dunia, di mana hamba-hamba-Nya menambah bekal bagi akhirat. Pemerintah Indonesia menghimbau lebih mengutamakan keselamatan diri dan jamaah ketimbang menunggu waktu afdlol. Bahan, bagi yang lemah (sakit atau udzur) dapat di-badal-kan.
Titik-titik pertemuan antar jemaah bisa jadi titik-titik berdesakan yang memungkinkan berakibat fatal. Menepati antrian dengan baik adalah kunci utama pergerakan jamaah di Mina. sebaiknya para jamaah dari Indonesia melontar jumrah di lantai yang dikhususkan untuk orang-orang Asia. Demi menjaga keselamatan diri.
Di waktu luang, para jamaah haji dapat berkeliling pasar untuk berbelanja atau melihat-lihat suasana malam di Mina. Selain itu, hal yang menarik juga bertemu dengan banyak saudara dari berbagai suku dan negara. Bahasa apa yang digunakan? Bahasa apa yang bisa. Bahasa isyarat-pun bisa dijadikan alat komunikasi. Mashaallah. Begitulah persaudaraan di Mina.
Malam itu terasa begitu dingin di dalam tenda. Pengaturan suhu AC rupanya sedang tidak cocok dengan kondisi tubuhku. Di luar tenda begitu banyak wajah saudara seagama yang tergeletak dipinggir jalan dan menunjukkan kesehajaan dan kepasrahan. Pemandangan yang tak akan pernah dapat dilupakan. Wajah-wajah saudara seiman dari berbagai belahan dunia: putih, coklat, hitam, kuning berbaur menjadi satu.
Para jemaah yang beristirahat di jalan ini betul-betul tidak berada dalam maqtab tertentu. Ada juga yang memutuskan beristirahat diluar maqtab, karena terlalu jauh berjalan kaki dari maqtab ke tempat pelemparan jumrah. Sebagian lagi, merasa lebih nyaman berada diluar tenda. Dengan membawa alas untuk duduk dan dan shalat seadanya kutinggalkan tenda.
Hari ke dua bermalam di perkemahan Mina. Jalan jalan di Mina masih dipadati dengan jamaah. Maqtab jamaah dari berbagai negara berjejer, berderet tertata baik dengan semua fasilitas yang utama, misalnya untuk mandi cuci dan buang air (MCK). Tanpa pikir panjang kulangkahkan kakiku menuju suatu tempat yang dari jauh terlihat merupakan menara tinggi. Ada empat manara terlihat dari kejauhan. Itu adalah menara masjid.
Aku tidak tahu sebelumnya masjid apa gerangan itu. Waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00 pagi hari. Kuikuti saja langkahku tanpa pikir panjang. Harapanku sampai segera di lokasi empat menara itu. Lokasi mungkin berjarak 3 km, dari tenda kami. Ternyata jalan yang kutempuh harus berputar dan jaraknya dapat dipastikan semakin jauh. Lebih dari yang kubanyangkan sebelumnya. Hampir 1 jam kulintasi pinggiran jalan dan sebelah kiriku adalah Maqtab dengan tenda-tenda putih jamaah dari berbagai benua.
Akhirnya aku sampai di pintu masuk arah ke Masjid. Kuingat dengan pasti aku masih berwudhu. Kulangkahkan kakiku memasuki masjid. Anak-anak tangga masjid kulewati sudah. Aku memasuki masjid itu. Betapa terperanjatnya aku ketika itu. Masjid dipenuhi dengan jamaah yang terbaring. Ada yang sedang tidur, ada juga yang belum tidur. Yang dapat dipastikan hanya sedikit sekali jamaah yang sedang duduk i’tikaf di dalam masjid tersebut.
Kulangkahi para jemaah yang sedang tertidur. Aku melangkah dan terus melangkah mencari tempat di mana aku dapat sholat tahyatul masjid. Kucoba menuju mimbar masjid yang mampu memuat puluhan ribu jamaah tersebut. Tempat kosong yang layak untuk tempat sholat belum juga kutemukan.
Aku melangkah terus menuju mimbar dan tempat imam. Akhirnya tepat disebelah mimbar, dan dekat imam aku dapatkan tempat yang dapat digunakan untuk tempat shalat, i’tiqaf dan membaca al-Quran. Sepertiga malam dilewatkan di dalam masjid, dan akhirnya sholat subuh berjemaah berada dibarisan dibelakang imam, dekat mimbar. Alhamdulillah.
Ini masjid tua, seusia ibadah haji sejak awal jaman kerasulan Muhammad saw. Sampai pagi hari kembali ke tenda aku belum tahu nama Masjid tersebut. Dari para ustad pembimbing dan koordinator lapangan, aku baru tahu nama masjid itu adalah Masjid Khaif. Perjalanan setengah malam itu, sendiri, terlepas dari jemaah, membawaku ingin mengetahui lebih jauh tentang masjid Khaif. Rupanya masjid itu dikenal juga dengan nama masjid 70 Nabi.
Masjid al-Khaif di Mina dikenal pula dengan Masjid al-Mu’aisyumah, karena dulu pernah ada pohon al-Mu’aisyumah di lokasi tersebut. Namun, Masjid yang luasnya sekarang ini sekitar 13.000 meter persegi dan ditandai dengan 4 menara runcing yang tinggi lebih dikenal dengan nama Masjid al-Khaif. Dinamakan Masjid al-Khaif karena berada di kaki terletak di kaki Gunung Shabih. Khaif yang berarti ‘tempat tinggi di bumi’.
Sangatlah beruntung jika pada musim haji, jamaah yang ketempatan tenda dekat dengan Masjid al-Khaif. Masjid ini pertama kali dibangun pada masa Nabi SAW. Setelah itu dilakukan perbaikan dan perluasan seiring perkembangan Islam. Bentuk bangunan masjid tetap bertahan hingga masa pemerintahan Kerajaan Arab Saudi yang kemudian mengalami perluasan besar-besaran hingga mencapai 13.000 meter persegi. Dengan demikian, masjid ini merupakan masjid ketiga terbesar di Provinsi Makkah Al-Mukarramah setelah Masjidil Haram dan Masjid Namirah.
Dari ulasan para ahli ilmu hadis dangan sanat yang dapat dipercaya, dan berawal dari al-Aswad al-Umari dari Ayahnya yang berkata “aku bersama Nabi SAW melaksanakan ibadah haji kemudian Aku shalat shubuh bersama Beliau di Masjid al-Khaif”. [Sunan Tirmidzi 1/424 no 219 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
Dari berbagai riwayat, rupanya masjid itu tempat bermalamnya para nabi. Hadits Riwayat Imam al-Baihaqi dari Mujahid: “Telah shalat di masjid ini (masjid Khaif), tujuh puluh orang Nabi. Pakaian-pakaian mereka dari bulu domba, dan sandal-sandal mereka dari daun kurma”.
Mina adalah tempat perkemahan internasional terbesar di muka bumi. Jamaah mabit selama tiga hari-tiga malam (11, 12, 13 Dzulh Hijjah) untuk melakukan pelemparan Jumroh. Sebuah masjid kuno bahkan telah dimulai sejak nabi Ibrahim berada di Mina. Banyak yang tidak mengetahui ada tempat persinggahan para Nabi, para pembawa risalah di tanah Mina, di Masjid al-Khaif, masjid 70 Nabi.
Semoga banyak penulis-penulis sejarah menggali lagi informasi yang sangat menarik dari masjid 70 Nabi tersebut. Tujuannya agar para jemaah semakin menghayati perjalanan suci penuh makna, untuk menambah bekal menghadap Allah swt. Sungguh sangat beruntung, jika Maqtab di Mina berdekatan dengan Masjid 70 Nabi, sehingga setiap malam bisa berjamaah di Masjid tersebut. Nur