teradesa.com. Apalah arti sebuah nama? Bagi sebagian besar orang, nama hanyalah penanda yang memudahkan kita untuk mengingat sebuah identitas, baik itu tempat, orang mapun barang. Namun tahukah Anda? dibelahan dunia lain demi sebuah nama, beberapa orang rela mempertaruhkan segalanya. Bagi mereka, nama mengandung sejuta makna; kebanggaan, harga diri, sejarah, hingga keyakinan. Pada kesempatan kali ini Teradesa akan mengulik fenomena penggantian nama kota yang memicu konflik tak berkesudahan disalah satu pusat keajaiban dunia, India.
Hyderabad, Ahmedabad dan Allahabad. Bagi warga India, tiga kota ini merupakan warisan sejarah yang telah membentuk peradaban India selama berabad-abad. Istana, benteng, masjid, hingga taman-tamannya yang indah membuat tiga kota ini bagaikan kota impian.
Sayang sekali impian itu menjadi mimpi buruk saat pemerintah India resmi merubah nama kota Allahabad menjadi “Prayagraj” pada tanggal 16 Oktober 2018. Kata Prayagraj berasal dari bahasa Sansekerta “prayaga” (pengorbanan) dan “raja” (raja). Nama Allahabad yang telah berusia empat abad kini tinggal kenangan. Tak berhenti sampai disitu, warga India kini tengah bersiap-siap menerima perubahan kota Hyderabad menjadi “Bhagyanagar” dan Ahmedabad menjadi “Karnawati”.
Fenomena penggantian nama-nama kota di India ini sejalan dengan Gerakan “Saffronisasi” yang berawal dari kemenangan Baharatya Janata Party (BJP), partai sayap kanan ultra-Hindu pada tahun 2014. Kata “Saffronisasi” diambil dari warna jingga kemerahan yang berasal dari tumbuhan saffron.
Warna saffron selama ini sering digunakan dalam ritual peribadatan umat Hindu di India. Gerakan saffronisasi melambangkan semangat untuk mengembalikan India pada akar budayanya yang telah tercerabut selama berabad-abad oleh para “penjajah”. Dalam hal ini, bahasa merupakan salah satu elemen pentingnya
Selama berabad-abad kekuasaan Dinasti Mughal di India, Bahasa Persia dan Bahasa Arab mulai banyak dikenalkan di India. Tak hanya digunakan dalam administrasi pemerintahan dan system pendidikan, bahasa Arab dan Persia juga mewarnai penamaan banyak kota dan desa di India. Kebanyakan warga India mulai merasa bahwa eksistensi Bahasa Sansekerta sebagai symbol budaya dan agama semakin terancam.
Nasib bahasa Sansekerta semakin terpuruk saat dinasti Mughal jatuh dan Inggris berkuasa di India dengan mengenalkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara. Hingga akhirnya saat India merdeka tahun 1947, usaha untuk “membangkitkan” kembali bahasa Sansekerta sebagai identitas India mulai muncul.
Nama-nama kota dan istilah-istilah yang berbau Arab dan Persia sebisa mungkin dihapus dan diganti bahasa Sansekerta, Walaupun sebenarnya, bahasa Sansekerta hanya merupakan bahasa sastra dan keagamaan, dan sudah tak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari. Warga India sehari-hari berbicara dalam bahasa Hindi dan bahasa daerah lainnya seperti Punjabi, Tamil dan Bengali.
Lalu bagaimanakah respon warga India atas berubahnya nama-nama kota mereka? Fakta yang ada sungguh mencengangkan. Dalam banyak jajak pendapat dan komentar netizen di media sosial, mayoritas masyarakat India (yang notabenenya beragama Hindu) justru menolak gerakan ini. Mengganti nama kota tidaklah semudah menekan tombol edit dan save. Akan ada banyak anggaran yang dikeluarkan untuk mengganti dokumen, stempel, papan nama dan tetek bengek lainnya.
Belum lagi hilangnya kebanggaan penduduk kota yang telah melekat selama ratusan tahun. “Apakah dengan mengganti kota, kemiskinan disini akan hilang? Para koruptor akan hilang dan hidup kami akan sejahtera?”, ungkap Suraj, warga Ahmedabad. “Selama ini Hyderabad terkenal dengan nasi Biryani Hyderabad yang legendaris. Bayangkan kalau kuliner kebanggaan ini namanya jadi nasi Biryani Bhagyanagar. Terdengar lucu dan aneh”, ungkap Pulkit warga Hyderabad.
Tak hanya nama kota, nama stasiun Mughal Sarai yang ada di kota Delhi kini telah diubah menjadi stasiun “Pandit DeenDayal” untuk menghapus nama Mughal dari benak warga. “Kisah berabad-abad Mughal di India tak perlu dikenang lagi. Bagiamanapun mereka adalah penjajah”, ungkap Rohan, seorang politikus.
Entah berapa lagi nama jalan, kota, dan desa yang akan diubah ke depannya. Bahkan kabarnya, tak hanya bahasa, warna juga akan menjadi sasaran berikutnya dari gerakan Saffronisasi. Mungkin beberapa tahun lagi kita tak akan lagi melihat warna hijau di India, yang ada hanya warna merah dan jingga, mengubur sejuta kenangan yang telah ada. Bagaimanakah pendapat Anda? #Mufti Rasyid