teradesa.com. Sekilas dua kata ini menunjukkan hubungan yang sangat erat; Beragama menjadikan seseorang bahagia. Kebahagiaan selalu dirasakan bagi mereka yang beragama. Apakah demikian kenyataannya? Belum tentu.
Pada tahun 2020 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan survey untuk membuat rangking Negara-Negara dengan dengan penduduk paling bahagia. Tujuan survey ini didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan hendaknya berdampak pada kebahagiaan masyarakatnya. Untuk apa pembangunan jika masyarakatnya tetap tidak bahagia?
Konsep bahagia tidak didasarkan pada pandangan para ahli, tetapi berdasarkan apa yang dirasakan oleh masyarakat (self claim). Beradasarkan data PBB melalui program sustainable development solution network (SDSN) bahwa 10 negara paling bahagia didominasi oleh Negara-Negara Skandinavia.
Rangkin peratama negara paling bahagia adalah Finlandia. Disusul urutan kedua sampai kesepuluh adalah Denmark, Switzerland, Iceland, Norway, Netherlands, Sweden, New Zealand, Austria, dan Luxsemburg.
Berikut penulis bandingkan data dari Gallup Poll (2009) tentang seberapa penting agama bagi masyarakat. Negara-Negara yang paling bahagia sebagaimana disebutkan di atas mayoritas masyarakatnya menganggap agama tidak penting. Misalnya Finlandia hanya 28% masyarakatnya menganggap agama penting.
Begitu pula seterusnya, Denmark (19%), Switzerland (41%), Iceland (tidak ada data), Norway (22%), Netherlands (33%), Sweden (15%), New Zealand (33%), Austria (55%), dan Luxemburg (39%). Sementara, lima Negara yang menganggap agama penting mayoritas masyarakatnya merasa tidak bahagia.
Data berikut menunjukkan data Negara yang warganya menganggap agama penting dan rangkin kebahagiaannya. India (Hindu, 90%, 144), Phlipines (Katolik, 96%, 52), Arab Saudi (Islam, 93%, 27), Thailand (Budha, 97%, 54), dan Indonesia (Islam, 99%, 84).
******************
Data tersebut sangat menarik. Mengapa Negara-Negara yang menganggap agama penting justru diruang publik mengatakan merasa tidak bahagia. Bukankah agama menjadi sumber kebahagiaan? Bahagia tidak hanya diukur dari ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan kualitas pemerintahan (Human Development Index / HDI).
Kasus Indonesia, misalnya paling tertinggi, 99% menganggap agama penting, tetapi kebahagiaan masyarakatnya menempati rangking ke 84 dari 153 Negara yang disurvey.
Kebahagiaan itu bersifat subyektif. Karena itu, dapat dipahami jika masyarakat diminta untuk menyatakan apakah merasa bahagia dengan rentang pilihan nilai 0-10. Persepsi subyektif dapat dipengaruhi dari lingkungan sosialnya. Misalnya seberapa besar social trust yang dirasakan masyarakat sehingga mereka merasa nyaman di ruang publik dan medsos.
Munculnya sikap saling curiga, saling tidak percaya, nyinyir, underestimate, kebencian, dan permusuhan diantara warga patut untuk dipertimbangkan. Social trust harus ditumbuhkan secara sinergis oleh semua pihak. Dan, justru jangan dilanggengkan hanya untuk kepentingan diri atau kelompok.
Pertama, pemerintah/pejabat hendaknya dapat memberi contoh untuk tidak membuat kebijakan, statemen, dan sikap yang mendorong antar kelompok di masyarakat timbul saling curiga. Hentikan sikap saling mengadudomba diantara kelompok-kelompok masyarakat beragama (ormas).
Kedua, pengusaha jangan hanya memikirkan kepentingan bisnis semata. Hindarkan cara memukul dan merangkul diantara kelompok di masyarakat dalam berinvestasi. Jamak dipahami bahwa jika pengembangan usahanya mengalami kendala (penolakan) dari masyarakat, maka cara yang digunakan adalah memukul dan merangkul diantara kelompok masyarakat yang pro-kontra.
Ketiga, memberi ruang kebebasan bagi masyarakat untuk memilih. Pendewasaan dalam memahami, bersikap dan mengambil keputusan hendaknya dibudayakan di masyarakat sehingga mereka merasa nyaman. Sudah bukan jamannya lagi membuat masyarakat seragam (uniform). Upaya penyeragaman (uniformization) di masyarakat faktanya justru melahirkan problem sosial berkepanjangan.
Keempat, perlu dukungan sosial. Negara-Negara Skandinavia kebanyakan menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state). Masyarakat miskin atau pengangguran diberikan subsidi ekonomi (dukungan sosial). Dukungan ekonomi ini riil, tidak seperti BPJS misalnya. Pemerintah betul-betul mensejahterakan masyarakatnya, bukan mengakal-akali.
Kelima, ini yang menarik. Berdasarkan data Corruption Perception Index (CPI) tahun 2019, dan diterbitkan tahun 2020 bahwa 10 Negara terbahagia tersebut tingat koprupsinya rendah (Negara paling bersih). Kecenderungan untuk korupsi biasanya memiliki sikap anti kesejahteraan masyarakat. Keuntungan diri, kelompok dan korporasi cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan data laporan Human Development Index (HDI) dari UNDP tahun 2020 bahwa Negara-Negara yang bersih dari korupsi tingkat kesejahteraannya tinggi. Berikut adalah 10 Negara tersejahtera dengan score nilai HDI, yaitu; Norway (0,957), Ireland (0,955), Switzerland (0,955), Hongkong (0,949), Iceland (0,949), Germany (0,947), Sweden (0,945), Australia (0,944), Netherland (0,944), dan Denmark (0,940).
Nur Kholis (LSP Community)