teradesa.com. Agama dan lembaga-lembaga spiritualitas lainnya tidak kuat (unpowerful). Begitu halnya dengan lembaga-lembaga hukum formal Iainnya, di negeri ini. Semuanya tidak mampu menekan perilaku buruk manusia (pemeluknya). Lihat, betapa kita tidak terlalu terkejut dengan berita beberapa Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN), tokoh agama, tokoh masyarakat, politikus, dan pejabat pemerintahan yang terlibat kasus korupsi,. Apakah mereka tidak beragama? Semua pasti beragama resmi, dan semua pasti tahu aturan dan konsekwensinya.
Hal ini menunjukkan bahwa betapa manusia itu sesungguhnya lebih kuat dari semua obyek-obyek yang ada di dunia ini. Alam semesta dan keseluruhan komponen didalamnya dapat ditundukkan untuk kepentingan manusia. Regulasi yang dibuat oleh Negara mampu ditundukkan oleh kepentingan manusia, bahkan agama—yang berfungsi sebagai sumber normatif dan nilai-nilai dalam kehidupan bersama juga tunduk pada “kepentingan” manusia. Inilah puncak kecelekaan perubahan dari paradigma teosentrisme ke paradigma antroposenstrisme.
Penempatan manusia sebagai pusat dalam melihat diri dan lingkungan sosialnya, telah mampu merubah manusia menjadi “tuhan”. Kadang ia mampu mengadili pemeluk agama lainnya, menistakan kelompok dalam internal agamanya. Juga, mampu mensiasati regulasi pemanfaatan sumber kekayaan alam untuk kepentingan diri dan kelompok, regulasi ekonomi, regulasi politik, regulasi pendidikan, dan regulasi sosil-budaya. Semua ini dijadikan obyek untuk memenuhi kebutuhan nafsu manusia. Paham antroposentrisme juga-lah yang mampu mendesakralisasi agama.
Manusia adalah subyek utama yang dapat membentuk model baru, menciptakan budaya baru, dan mampu merubah situasi dan kondisi dunia sesuai kepentingannya. Berbeda dengan pandangan kaum strukturalis, bahwa manusia dibentuk oleh struktur sosialnya. Namun demikian, tidak perlu terlalu skeptis dan curiga dengan antroposentrisme. Karena, di lain pihak paradigma ini mampu menyumbang terhadap perubahan sosial yang lebih modern. Hanya, ada beberapa yang perlu kita kritisi, agar kehidupan sosial semakin baik dan manusiawi.
Kekuatan manusia haruslah dipahami sebagai “kekuatan relatif”. Ia akan menjadi kuat hanya jika ia telah mampu meleburkan sifat-sifat kemanusiaannya kedalam sifat Tuhan. Kekuatan yang diliputi oleh sifat ketuhanan akan melahirkan kebaikan, kemaslahatan, dan kemanfataan yang lebih besar. Sementara, kekuatan kemanusiaan an-sich realitasnya berdasarkan pengalaman selama ini justru melahirkan antagonis, anomaly, dan destruktif. Bukan agama atau regulasi sosial yang mampu menjadikan manusia manusiawi, tetapi justru individu manusia itu sendiri.
Agama dan regulasi adalah instrument sosial yang dapat dijadikan rambu-rambu dalam bersikap. Sedangkan kemampuan untuk mengaktualisasikannya kedalam perilaku adalah dorongan internal yang dimiliki oleh masing-masing individu manusia. Dorongan merupakan impulsive untuk bertindak menurut tafsir dan kesimpulan individu manusia. Sementara, impulsif merupakan tindakan cepat manusia berdasarkan pengetahuan dan pengalaman subyektifnya. Dengan demikian, agama dan semua regulasi sosial hanyalah butiran sumber pengetahuan dan pengalaman yang mungkin saja menjadi bahan pertimbangan dalam suatu tindakan/perilaku individu manusia.
Salah satu cara meleburkan sifat-sifat kemanusiaan kedalam sifat-sifat Tuhan adalah dengan cara meniadakan (mengosongkan) sifat-sifat keutamaan yang dimiliki oleh individu manusia. Misalnya meniadakan atribut-atribut sosial yang dimilikinya. Karena pada dasarnya atribut-atribut sosial itulah yang sering menggandakan sifat ketakaburan individu manusia, sehingga cenderung khilaf. Mengosongkan rasa “aku” karena memiliki jabatan, ilmu, kekuasaan, relasi, dan sebagainya. Pengosongan rasa “aku” adalah cara untuk mendatangkan ketanazulan Tuhan, sehingga melebur kedalam sifat-sifat kemanusiawian manusia. Disitulah puncak sinar kemanusiaan yang manusiawi. Cak Nur