teradesa.com. “Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30). Ayat ini cukup menarik untuk direnungkan. Tentu, akan menghasilkan tafsiran yang berbeda, dan akan menghasilkan pengetahuan sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Kali ini, saya hanya akan menganalisisnya dalam perspektif bidang pendidikan yang diintegrasikan dengan bidang sosial.
Air merupakan simbol “kehidupan” bagi akal dan jiwa. Kehidupan yang baik, dapat dijalankan mengikuti aliran kehidupan sesuai yang dikehendaki-Nya. Kehidupan yang dijalankan secara mengalir dapat menyuburkan pikiran, memelihara keingintahuan [curiosity], dan melahirkan kreatifitas. Ia tidak terlalu panik dengan segala keadaan, karena sejatinya penampakan kehidupan hanyalah cerminan kehendak-Nya.
Dalam kehidupan yang selalu tidak pasti, diperlukan sikap elastis. Air, telah mengajarkan nilai-nilai fleksibilitas, adaptasi dan ketahanan kepada manusia dalam berproses hidup. Tidak ada manusia yang diciptakan dalam bentuk final, baik secara fisik maupun psikis. Rona-rona hidup itulah bentuk pembelajaran yang menyebabkan seseorang makin dewasa, dan baik. Tidak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan itu sejatinya relatif.
Secara historis, air telah menjadi unsur terpenting dalam menentukan pola pemukiman, struktur ekonomi, dan interaksi sosial sejak zaman kuno. Makkah dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai Ummul Quro (QS. Al-An’am: 92) sebagai induk dari desa-desa karena adanya air zam-zam yang dianugerahkan kepada Siti Sarah a.s dan Ismail a.s, yang kemudian ditempati oleh suku Zurhum [salah satu suku terkenal dari Yaman]. Begitu pula sejarahnya Sungai Nil, Eufrat dan Gangga.
Sampai pada era modern ini, isu tentang air bersih menjadi isu global yang melibatkan ketimpangan, konflik dan hak asasi manusia. Indonesia, misalnya Negara dengan sumber daya air yang melimpah, akan tetapi karena kehadiran Negara kurang untuk kehidupan yang lebih adil, maka air menjadi sesuatu yang mahal. Untuk minum saja, masyarakat harus membeli. Sumber mata air justru diberikan hak pengelolaannya kepada pemilik modal.
Negara harusnya hadir, dan mengelolanya untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas secara berkeadilan. Ketidakhadiran negara, juga menyebabkan para petani harus menguras modal awal untuk pengairan sawah. Air merupakan hajat hidup orang banyak, yang meniscayakan kehadiran Negara untuk memastikan distribusinya secara adil.
Air, juga mengajarkan kepada semua elemen masyarakat untuk menciptakan gerakan solidaritas sosial dalam mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan. Hemat air, penghijaun, dan pengelolaan lingkungan yang berbasis air hendaknya menjadi budaya baru di masyarakat. Dari air itulah dapat mendorong terciptanya solidaritas sosial dan politik, sekaligus konflik sosial. Karena air adalah segalanya dalam kehidupan manusia, hewan dan lingkungan.
Air adalah sumber daya esensial yang sering menjadi perebutan, terutama di masyarakat agraris. Menurut teori resource scarcity (Homer-Dixon, 1994), kelangkaan air dapat menciptakan tekanan sosial dan memicu konflik antar kelompok di masyarakat. Jika terjadi ketimpangan akses, akibat lokasi geografis atau kekuasaan, maka memungkinkan memperbesar ketegangan, memengaruhi stabilitas komunitas.
Penelitian tentang sosial-ekologi (Ostrom, 1990) menunjukkan bahwa konflik air sering diperburuk oleh tiadanya aturan distribusi yang adil. Masyarakat tanpa mekanisme pengelolaan bersama rentan terfragmentasi, di mana kelompok yang lebih kuat menguasai akses. Konflik ini mengancam kohesi sosial dan menciptakan kesenjangan lebih besar di masyarakat yang bergantung pada air.
Studi Ostrom juga mengungkap bahwa konflik air dapat diredakan melalui manajemen berbasis komunitas. Pembentukan aturan distribusi yang inklusif mendorong kerja sama. Solidaritas muncul ketika masyarakat berbagi tanggung jawab dalam mengelola sumber daya bersama, mengurangi ketimpangan dan menciptakan hubungan yang harmonis, menjadikan air bukan sekadar kebutuhan tetapi alat pemersatu. Cak Nur