teradesa.com. Dalam sepanjang perjalanan perdaban manusia, air adalah kunci bagi pertumbuhan dan perkembangan perdaban. Pada awal perdaban, manusia bersedia berpindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat lainnya yang memiliki sumber mata air dan/atau aliran air yang terbentang dari sungai-sungai. Air, tidak hanya berguna untuk minum, tetapi juga untuk menjaga kesehatan dan kebersihan diri, serta bercocok tanam.

Air adalah pusat kehidupan. Tanpa air, orang, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak akan hidup. Kekurangan air dikenal dengan dehidrasi yang berujung kematian. Tanpa air, orang tidak bisa menanam untuk keperluan kehidupannya. Tanpa air, tumbuh-tumbuhan non pertanian juga tidak akan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Merosotnya produksi hutan yang disebabkan kurangnya pasokan air, akan berdampak langsung terhadap punahnya satwa.

Tidak hanya manusia, hewan dan berbagai satwa lainnya juga membutuhkan air. Beragam satwa yang hidup didalam air pasti tergantung pada air. Begitu halnya satwa darat juga membutuhkan air. Bahkan satwa udara-pun seperti burung juga membutuhkan air. Dengan demikian, air, merupakan hak bagi semua makhluk hidup. Bukan hanya hak manusia, tetapi juga hak bagi tumbuh-tumbuhan, dan juga hak bagi semua hewan laut, darat dan udara.

Air, juga bisa menjadi sumber konflik antara manusia dengan manusia, kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya, dan juga konflik antara Negara dengan Negara lainnya. Pada awal perdaban manusia, konflik antar kelompok nomaden disebabkan diantaranya adalah karena air. Konflik antara Negera-Negara di Benua Afrika, misalnya antara blok Mesir, Sudan, dan Sudan Selatan  dengan blok Ethiophia, Tanzania, Burundi dan Rwanda.

Mayoritas kebutuhan air bersih, pembangkit listrik, dan pertanian penduduk Mesir, dan Sudan adalah dari Sungai Nil putih yang berpusat di Ethiophia dan dari Nil Biru yang berpusat di pertengahan tiga negera, yaitu; Tanzania, Burundi dan Rwanda. Meskipun demikian, anehnya keempat negara di Benua Afrika bagian selatan ini termasuk Negara-Negara yang selalu mengalami kekeringan dan kelaparan. Ironis…memang!

Mesir dan Sudan sangat tergantung pada aliran dari sungai Nil. Kedua Negara bekas jajaan Inggris ini diuntungkan dengan perjanjian tentang pemanfaatan air Sungai Nil. Dalam isi perjanjian tersebut, saat ini, Sudan memiliki hak air sungai Nil sebesar 25%, sementara, Mesir 75%. Ethiopia, Tanzania, Burundi dan Rwanda tidak mengakui isi perjanjian tersebut, karena mereka bukan bekas jajahan Inggris dan tidak diikutsertakan dalam perjanjian tersebut.

Ethiopia baru-baru ini telah mengkonfirmasi bahwa bendungan Renaisans Besar Ethiopia (gerd) telah selesei pengisian airnya. Bendungan ini membentang lebih dari satu mil dengan ketinggian 145 m di Ethiopia Utara, terletak 30 km sebelah selatan perbatasan dengan Sudan Selatan. Perlu diketahuai bahwa 85% air Sungai Nil bersumber dari Nil Biru di Ethiopia ini. Selebih dipasok dari Sumber Nil Putih (victoria nile) tepatnya di wilayah antara Mwanza, Kigali, Kampala dan Nairobi.

Pada tahun 2021, rampungnya pembangunan gerd yang membutuhkan waktu 12 tahun ini telah memicu konflik antara Mesir, Sudan dengan Ethiopia. Mesir dan Sudan pada bulan Mei 2021 telah membuat latihan militer bersama dengan sandi para penjaga sungai Nil (the guardians of the Nile). Begitulah, air adalah kebutuhan pokok dan hak bagi semua kehidupan.

Begitu pentingnya air, Negara manapun akan bersedia mengeluarkan anggran banyak untuk memperoleh dan mempertahankan hak pengelolaan air. Dalam skala micro, konflik antar individu karena air sudah banyak, konflik antar kelompok dalam masyarakat karena air juga banyak. Karena pentingnya air, pemerintah dalam pasal 33 UU 1945 pada ayat 3 dijelaskan bahwa air dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Benarkah demikian? Saat ini air minum dikuasai oleh pihak swasta. Hak pengelolaannya dikuasai swasta atas ijin pemerintah. Oleh pihak swasta air diolah menjadi air minum. Untuk minum saja rakyat harus membeli, setidaknya 5000 s.d 10.000 setiap hari. Pada pusat-pusat sumber mata air yang besar, misalnya di Klaten, Pasuruan dan lain-lain pengelola air swasta ini berebut dengan rakyat setempat untuk kebutuhan pertanian, minum dan hewan pemeliharaannya.

Konflik antara rakyat dengan pihak swasta atas ijin Pemerintah dalam pengelolaan air telah terjadi. Mengapa pemerintah tidak hadir untuk pemenuhan air minum yang sehat. Kok malah “dijual” ke swasta. Bukankah ini bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 di UUD 1945? Entahlah, apa yang ada didalam pikiran para pengelola Negara ini? Hal yang kecil dan sederhana ini tetapi berdampak luas pada hak dasar rakyat saja tidak sensitif. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top