teradesa.com. filosof ini tidak begitu terkenal, ia hidup di abad sembilan, namanya John The Scot, terkadang ditambah dengan kata Eriugena atau Erigena. Bagiku, isa cukup mengagumkan. Ia berkebangsaan Irlandia, yang dikenal sebagai seorang Pelagian dan Panteis. Diperkiraan masa hidupnya antara tahun 800-877 M. Ia banyak menghabiskan waktunya dibawah perlindungan Raja Perancis, Charles si Botak. Pandangan-pandangan sangat Neoplatonis.
Dalam keseluruhan pandangan filsafatnya, ia menempatkan rasio di atas kepercayaan (agama), dan sama sekali tidak peduli dengan otoritas para pendeta saat itu. Tetapi aribitarsenya digunakan untuk menyeleseikan kontroversi para pendeta. Selain itu, pandangan-pandangannya dipengaruhi oleh budaya Irlandia saat itu, terutama kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan.
John mendukung kebebasan kehendak. Bahkan dalam pandangannya bahwa otoritas filsafat mempunyai kedudukan yang sama, bahkan lebih, dengan wahyu. Secara spesifik, ia mengatakan akal dan wahyu adalah dua sumber kebenaran. Dan, karenanya tidak mungkin bertentangan. Tetapi jika keduanya nampak bertentangan, maka akal lebih didahulukan. Agama yang benar adalah filsafat yang benar. Bahkan sebaliknya, filsafat yang benar adalah agama yang benar.
Penulis tidak menyangkal bahwa akal manusia dapat menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, dan bahkan kebenaran ketuhanan. Nabi Ibrahim as, melalui akalnya menyangkal ketuhanan nenek moyangnya, bahkan beradu argumentasi dengan bapaknya (QS. Maryam/19: 42-49). Begitu halnya, dengan nenek moyang bangsa Indonesia menemukan tuhan dan agama melalui akalnya, yang kita kenal dengan kepercayaan Anymisme dan Dynamisme.
Akal sehat seseorang dapat menuntun pada kebaikan moral. Sikap, moral, dan perilaku yang baik tidak hanya semata ditentukan oleh pengetahuan agama. Piaget, bahkan berpandangan bahwa perkembangan pengetahuan moral seseorang sejalan beriringan dengan perkembangan pengetahuannya. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa semakin dewasa seseorang, maka perkembangan sensorik kasarnya semakin berkurang. Dan, sensorik halusnya berkembang pesat.
Sensorik halus berfungsi untuk mempertimbangkan secara argumentatif setiap sikap dan perilaku yang akan diaktuliasasikan seseorang. Pada dasarnya, perilaku sosial dan perilaku keagamaan seseorang adalah implementasi/aktulisasi pengetahuan agamanya atau/bahkan pengetahuan murni akalnya. Sensorik halus dapat menjamin seseorang mengetahui dan memahami kebaikan-keburukan, kebenaran-kesalahan, baik secara logika maupun moral.
Nah, ini yang mungkin dilupakan oleh John, bahwa pengetahuan dan pemahaman seseorang bersifat nisbi (relatif). Mengapa? Semua pengetahuan seseorang bersumber dari akal dan panca indra, yang tentu, semua orang paham bahwa ia bersifat nisbi. Relatifitas pengetahuan, dan pemahaman seseorang dapat dibuktikan dengan mudah. Misalnya, jika kita berdiri di atas rel kereta api, maka mata jauh memandang kedua sisi rel tersebut tampak menyatu. Itulah relatifitas pandangan mata kita. Dan, tentu begitu halnya dengan panca indra lainnya.
Pengagungan terhadap akal dan panca indra, bahkan mempersepsikannya sebagai pengganti agama sejatinya adalah berlebihan. Dan, tidak masuk akal. Bahkan dalam prinsip scientific, relatifitas pengetahuan atau teori adalah nyata. Karenanya, tidak ada pengetahuan, atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang abadi. Semua kebenarannya terbatas oleh dimensi waktu dan ruang. Namun toh, demikian agama Islam, tetap menempatkan akal sebagai instrumen penting untuk memahami dan mengaktualisasikan keagamaan dalam kehidupan keseharian umat secara baik. #Cak Nur