teradesa.com. Sesekali wajar untuk meluangkan waktu sedikit untuk refleksi tentang sikap dan perilaku (moral). Baik, moral atau akhlak diri maupun fenomena yang berkembang di masyarakat (dekat-sempit atau jauh-luas). Ada yang secara kasat mata terpelajar, agamis tetapi ia pernah khilaf. Atau, sebaliknya, biasa-biasa saja, tetapi akhlaknya baik. Tentu, banyak sekali makna atau bentuk ketidakbaikan akhlak. Kendatipun demikian, kita juga sangat maklum jika Nabi Adam as, juga bernah khilaf.
Pertanyaan yang mungkin dapat diajukan adalah apakah akhlak itu absolut-universal ataukah relatif-particular? Mujtabah Misbah (2008), dalam bukunya, Bunyode akhlak, mendefinisikan absolut-universal akhlak adalah sebagian hukum moral bersifat mutlak, dan tidak terikat dengan ihwal apapun. Sebaliknya, akhlak relatif-particular adalah seluruh hukum moral memiliki syarat dan terikat dengan hal-hal tertentu (kondisional).
Jamak kita maklumi bahwa tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Kata menyempurnakan memiliki makna bahwa setiap orang diberi potensi akhlak kebaikan oleh Allah swt. Potensi dapat berkembang-mengarah menjadi baik ataupun buruk. Ini, sangat tergantung bagaimana seseorang mengelolanya. Sunnatullah lainnya, adalah bahwa tidak ada satu unsur, entitas di dunia ini yang terisolir. Semuanya memiliki keterikatan dan keterhubungan antara satu dengan lainnya.
Bahkan, setiap unsur jasmaniah dan ruhaniah manusia memiliki hubungan dan keterikatan antara satu dengan lainnya. Individu satu memiliki hubungan darah atau pertemanan dengan individu lainnya. Individu satu selalu memiliki hubungan dengan kelompok (grup) lainnya, yang sangat mungkin antar individu berbeda pula kelompoknya, meskipun pernah bertemu dalam satu kelompok. Begitu pula, individu atau kelompok satu selalu memiliki hubungan dengan unsur-usnur alam jagat raya. Ini, menunjukkan bahwa setiap individu selalu terikat dengan individu atau unsur alam jagat raya, yang selalu beragam.
Mata rantai ikatan individu demikian inilah yang sangat mungkin menyebabkan karakter antar individu cukup beragam/berbeda. Bahkan, karakter anak-anak dalam satu keluargapun sangat mungkin berbeda. Menurut Bronfenbrenner (1977), ada lima sistem lingkungan yang mempengaruhi karakter anak, yaitu; microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem. Kelima sistem lingkungan itu selalu mengalami dinamika perubahan. Ini, yang menyebabkan karakter anak itu unik (different).
Potensi akal-hati internal individu dapat dijadikan sebagai instrument untuk menganalisis, mempertimbangkan, dan memutuskan sikap dan perilaku sebagai bentuk respon terhadap situasi lingkungan eksternalnya. Lingkungan eksternal individu tidak mungkin dapat mempengaruhi karakter/moral individu tanpa respon unsur/potensi internalnya. Oleh karena itu, potensi internal berperan sebagai subyek, yang berfungsi mengatur bentuk respon. Ini-lah sebetulnya penjelasan yang dapat dijadikan argumen bahwa individu itu memiliki kehendak bebas (free will).
Kehendak bebas yang dimiliki oleh individu tidak terikat oleh norma, nilai, dan ideologi tertentu, dunia eksternalnya. Pada dasarnya setiap individu diberi kewenangan berdasarkan potensi yang dimiliki untuk bersikap dan berperilaku sesuai pengetahuannya. Setiap perilaku yang didasarkan pada pengetahuan memiliki konsekwensi pertanggungjawaban. Dengan demikian, sesungguhnya kebebasan yang dimiliki individu diikat oleh bentuk pertanggungajawaban agama dan/atau sosialnya. Berdasarkan konsep ini, maka sesugguhnya moral itu bersifat bebas terbatas.
Universality-absolutisity akhlak adalah bersifat potensial, yang dapat berkembang, bertumbuh, dan berubah sesuai dengan tingkat kemampuannya dalam merespon dengan baik dan benar terhadap setiap kondisi dan situasi dunia eksternalnya. Semua syarat agar memiliki kekuatan bertahan pada jalur akahlak/moral kebaikan diperlukan oleh setiap individu. Menggantungkan pada kemampuan akal/rasional semata dapat terjebak pada kekhilafan. Sementara, hanya menggantungkan kepada potensi spiritual semata juga akan kehilangan ghirah. Di sinilah diperlukan penggabungan secara secara dialektis antara akliah-spiritual untuk menghasilkan akhlak yang baik. #Cak Nur