Ampiran Ngombe yang Mempesona, Tetapi Bukan Tujuan Akhir

teradesa.com. Pandangan sosial masyarakat jawa tentang dunia ini adalah ampiran ngombe. Ampiran mengandung makna bahwa tempat itu bukan tujuan, waktu di tempat ampiran itu tidak lama (sedelok), dan tidak selayaknya seseorang terpesona bahkan tertarik di tempat tersebut. Kategori makna ampiran ngombe dapat dibagi menjadi dua, yaitu; aspek tempat dan aspek waktu. Ia hanyalah tempat sementara untuk melepas dahaga (ngelak) dalam suatu perjalanan (musafir). Seorang musafir sejati tidak memandang tempat berteduh sebagai sesuatu yang menyebabkan ia lupa tujuan perjalanannya. Karenanya, ia tidak akan berlama-lama bahkan tidak mungkin tertarik dengan tempat tersebut sebagai tempat persinggahan untuk waktu yang lama. Dengan demikian, waktu dan tempat persinggahan hanyalah bersifat sementara.

Manusia adalah musafir. Pakaian yang dikenakan bisa berubah-ubah sesuai dengan tempat persinggahannya. Teman, kerabat, karib bahkan orang-orang yang tidak menyukainya selalu berganti sesuai dengan tempat persinggahan itu. Teman dan musuh tidak-lah abadi bahkan dirinya sendiri juga tidak abadi. Tempat persinggahan-pun juga tidak abadi, karenanya tidak mungkin seorang musafir berlama-lama di suatu persinggahan. Setiap orang memiliki peran dan tanggungjawab yang berbeda-beda sesuai dengan kepasitasnya. Perbedaan peran dalam suatu persinggahan tidak mencerminkan siapa yang berkuasa dan siapa yang lemah, tetapi semuanya adalah satu kesatuan dalam komunitas persinggahan. Oleh karena itu, merasa paling hebat dalam suatu komunitas persinggahan hanya akan menjadikan dirinya semakin kehilangan jati diri kemusafirannya.

Musuh dan/atau karib hanyalah peran sementara dalam suatu persinggahan. Dalam suatu persinggahan lainnya sangat mungkin memiliki peran yang berbeda. Musuh dalam persinggahan sebelumnya bisa jadi karib dalam persinggahan berikutnya, atau sebaliknya. Karib dalam suatu persinggahan dapat menjadi musuh dalam persinggahan berikutnya. Oleh karena itu, jangan terlalu benci terhadap orang-orang yang saat tertentu kau anggap musuh, atau sebaliknya. Jangan terlalu suka terhadap orang-orang yang kau anggap karib dalam sutau persinggahan tertentu. Perlakukan kedua tipe itu sebagai partner dalam suatu perjalanan (musafir). Mereka pasti memiliki manfaat atau berguna dalam mencapai tujuan musafir. Kebergunaannya jangan dilihat dari satu tempat persinggahan tetapi lihatlah dari keseluruhan kpersinggahan yang ada dalam proses mencapai tujuan.

Tujuan (musafir) manusia hanyalah Tuhan. Jiwa-jiwa yang mengembara hanya proses untuk menguji apakah mereka tetap istiqomah mencari jalan menuju Tujuannya atau tenggelam dalam bilik-bilik persinggahan. Memang tidak mudah, membutuhkan niat dan keberanian untuk mengatakan tidak pada setiap keterpesonaan persinggahan. Keterpesonaan selalu bersifat indrawiyah. Dan ingat, setiap hal yang bersifat indrawiyah tidak-lah abadi. Ia seperti pakaian-pakaian yang kau kenakan dan berganti-ganti dalam setiap persinggahan. Orang atau hal-hal yang kau anggap musuh adalah bisa jadi merupakan tangga terjal yang dapat menghantarkanmu ke tujuan akhir. Sementara, orang atau hal-hal yang kau anggap karib justru mungkin menjadi kerikil yang dapat menjungkir balikkan dirimu pada tangga terendah.

Berhati-hatilah terhadap pujian, teman karib, dan orang-orang yang mendekati saat kau berada di persinggahan yang mempesona. Dan, sebaliknya jangan terlalu risau terhadap kritikan, musuh-musuh, dan duri-duri saat kau berada pada persinggahan yang mempesona, karena bisa jadi merekalah yang dapat membuat dirimu semakin memahami kesejatian kemusafiranmu. Kesenangan terhadap karib dan pujian hanyalah selubung yang membuatmu semakin jauh dari Tuhan. Karena setiap yang kau senangi dalam persinggahan adalah tabir atau hijab yang menutupi dzat Tuhan. Meskipun demikian, Tuhan menciptakan hijab (pesona dan keterpesonaan) dalam setiap persinggahan memiliki tujuan baik. Jika keindahan Tuhan (tujuan kemusafiran) ini ditampakkan tanpa hijab maka musafir tidak mampu menahan pesonanya. Pesona persinggahan akan terkalahkan, kabur, dan tertutupi oleh keindahan-Nya.

Dari perspektif yang lain, hijab-hijab ini memiliki banyak manfaat. Jika Tuhan menampakkan langsung tanpa hijab, maka semua alam jagad raya dan isinya akan hancur. “Ketika Tuhan menampakkan diri kepada gunung, gunung itu hancur berkeping-keping” (QS. al-‘Araf: 143). Renungkan permisalan ini, ketika matahari tidak berjarak dengan bumi maka semua yang ada pada bumi akan hangus. Tetapi ketika matahari berjarak secara proporsional, maka kita dapat membedakan antara yang terang dengan gelap, kita bisa berjalan menyusuri sudut-sudut di berbagai belahan bumi, kita dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Pohon-pohon dan hewan-hewan dapat hidup sesuai ritme kehidupannya masing-masing. Gunung-gunung dan perut bumi dapat menghasilkan tambang-tambang emas, perak, gas, batu mulia, dan air yang selalu dibutuhkan manusia.

Begitulah, hijab: kesenangan, keterpesonaan dan keterbencian yang kita rasakan dalam setiap persinggahan tidaklah mutlak. Semunya itu hanyalah ujian agar manusia (musafir) dapat memahami Tuhan, dapat mencapai tujuan akhir perjalanan jiwa-jiwa. Hanya jiwa-jiwa yang mengabaikan berbagai hijab itulah yang akan sampai pada tujuan akhir perjalanannya. Oleh karena itu, persinggahan-persinggahan dan hijab itu sendiri bukan tujuan musafir, atau setidaknya jangan dipahami sebagai yang ada. Karena ketika kau menganggap dan menyadari adanya hijab, maka Tuhan tidak akan terlihat. Keluarlah dari hijab, keluarlah dari persinggahan yang mempesona itu, maka kau akan mengenali dan melihat Tuhan (tujuan akhir musafir jiwa manusia). Maka disaat itulah perjalanmu sampai ditujuan akhir perjalanan jiwa. Mereka akan berkumpulkan dengan jiwa-jiwa lainnya di alam jabarut (ruhani majemuk).#Nur Kholis



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top