teradesa.com. Jauh sebelum Maulana Rumi mengingatkan tentang pentingnya nalar, akal dan cinta, tepatnya pada abad 5-6 Masehi dunia dilanda kegelapan yang menyeramkan. Yang kuat menguasai, perempaun disederajatkan dengan harta (hak milik), materialisme tumbuh subur, hidup dalam budaya hidonis, dan yang berkuasa merasa; sebagai manusia pilihan, sombong, dan titisan tuhan.
Hidup seperti ini yang disebut Rumi, berkembangnya budaya narsistik, “Keakuan telah butakan manusia, Karena sirna rasa malu dan akal, sebagaimana ratusan ribu tahun silam, rasa keakuan telah gelincirkan umat” (Matsnawi, jilid 5, bait 1920-1926). “Terkadang manusia menyerupai sifat serigala. Di lain waktu, manusia menjelma keindahan Yusuf” (Rumi, Matsnawi, jilid 2, bait 1420).
Pada sekitaran abad tersebut, ajaran Musa, a.s dan Isa, a.s telah diselewengkan untuk kepentingan budaya hidonis. Hidup mereka berkembang dalam tradisi lokal tanpa ruh dan nurani. Bahkan, kitab Taurat dirubah, dan mereka lebih mensucikan kitab Talmud, yang banyak menginformasikan hal-hal yang tidak masuk di nalar.
Kehidupan berkembang bardasarkan kesukuan dan kabilah-kabilah (clan), menyukai peperangan. Mereka beragama, tetapi tidak menjadi dasar berkembangnya tardisi bermoral. Begitulah, jika memperturutkan hawa nafsu dan kebendaan ketimbang akal, atau nalar. Puncak pemujaan diri (penguasa) adalah pemberian gelar Raja diraja (syahansyah) pada masa Dinasti Sasaniah, yang berakhir pada periode Raja Yazdegerd III (632-651 M).
Pemberian gelar “Raja diraja” adalah manifestasi dari rasa diri lebih tinggi dibanding manusia lainnya. Pakar hadis, Imam an-Nawawi (w. 676 H) bahkan mengharamkan pemberian gelar raja diraja (syahansyah), karena gelar ini hanya pantas untuk Allah swt. Hal ini dibahas secara khusus dalam satu bab, dalam kitabnya, Riyadh ash-Shalihin. Dalam bab tersebut, Imam Nawawi diantaranya mengutip hadis Nabi Muhammad saw, “Sesungguhnya nama yang paling hina (buruk) di sisi Allah swt adalah nama seseorang Raja diraja” (HR. Bukari & Muslim).
Selain itu, pada awal abad 5, terutama pada masa kekuasaan Qobbadz/Kavadh (488-531 M) di Persia, tampil seorang Raja bernama Mazdak (w. 524 atau 528). Ia menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan bersama terhadap perempuan dan harta. Ia beranggapan bahwa keburukan di masyarakat diakibatkan oleh sikap egoisme dalam memiliki harta dan perempuan. Karena itu, keduanya harus menjadi milik bersama. Saya kira, teori Karl Mark tidak orisinil, tetapi terpengaruh oleh gagasanya Raja Mazdak ini.
Itulah diantara sedikit tradisi buruk sebelum Islam berkembang di jazirah Arab dan Asia kecil. Bukannya tidak ada gama, tidak ada kitab suci agama, ada. Tetapi, mereka lebih menonjolkan hawa nafsu, yang mengakibatkan akal atau nalar menjadi tumpul. Tidak dapat mengetahui dan memahami antara baik dengan buruk, boleh dengan dilarang, bermoral dengan amoral. Sekiranya tepat sekali misi kenabian Muhammad saw yaitu memperbaiki akhlak. Karena akhlak itulah sebenarnya dasar dari berkembangnya peradaban manusia.
Dibalik itu semua, terdapat budaya pengetahuan ilmu alam untuk mendukung tradisi berdagang mereka. Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) dalam bukunya, al-Muwafaqat, mencatat bahwa masyarakat Arab Jahiliyah memiliki perhatian dan pengetahuan yang menjadi dasar berkembangnya pengetahuan modern saat ini. Diantaranya adalah astronomi, meteorologi, sejarah, pengobatan, dan kesusastraan. Bahkan, saat itu berkembang pendapat pada khalayak bahwa kemampuan sastra seseorang dapat menyebabkan derajatnya tinggi atau rendah di masyarakat.
Nabi Muhammad saw menemukan momentumnya, mengajarkan Islam melalui pendekatan revolusi mendasar pada aspek budaya dan mindset. Islam hadir tidak menggunakan gerakan revolusi struktural. Perubahan struktur tidak mampu merubah kultur, tetapi sebaliknya, perubahan kultur pada ujungnya dapat merubah struktur. Maka jangan heran, gerakan perubahan struktur di Indonesia tidak pernah berdampak; misalnya perubahan struktur dari penjajah ke orde lama, ke orde baru, dan ke orde reformasi. Lagi-lagi perubahan struktur selalu kandas oleh kultur yang buruk.
Asas ajaran Muhammad saw yang pertama adalah tauhid. Ketauhidan merupakan dasar penting terjadinya perubahan budaya dan peradaban masyarakat awal perkembangan Islam, baik di Makkah maupun di Madinah. Tauhid itulah yang mampu membebaskan manusia dari kooptasi bendawiyah, budaya hidonis, dan mampu mengembalikan manusia pada derajat tinggi. Ketauhidan yang diajarkan Muhammad saw pada akhirnya, dapat dimaknai sebagai gerakan pembebasan (liberation movement). #Nur Kholis