teradesa.com. Sedikit aku bisa lega, kakiku yang bengkak mulai tidak terasa sakit. Seperti biasa aku membersihkan rumah, di dalam dan luar. Pada saat rehat, aku membuka hanphone. Oh, rupanya ada satu pesan dari Pak De dari suami yang tinggal di Tulangan.
“Mimin, jika ada waktu longgar kapan-kapan silahkan ke Tulangan ya, ada warisan sedikit tanah untuk anakmu”. Pesan Pak De singkat.
“iya, inshaallah Pak De, aku akan ke sana, terimakasih pak De”. Jawabku singkat pula.
Hubunganku dengan keluarga suami berubah 90 derajat. Dulu saat masih bersama suami, aku sering diajak ke keluarganya di sela-sela libur kerjanya. Aku memang sudah lama keluar dari dari Kota T menuju Kota P mengikuti suami.
Tetapi, setelah suami menghilang sejak dua tahun lalu, aku tidak pernah lagi sambang keluarga dari suami. Hanya, sesekali komunikasi melalui whatshap (WA). Maklum kedua orang tua suami (mertua) sudah meninggal semua. Jadi, rasanya tidak ada kewajiban lagi silaturahim.
Kegiatan rutin aku lanjutkan mencuci pakaian dan membersihkan kamar mandi dan dapur. Setelah tergelincir di kamar mandi beberapa hari lalu rasanya ingin membersihkan kamar mandi, menghilangkan lumut-lumut yang menempel di dinding dan lantai kamar mandi.
Menjelang siang, anak semata wayangku pulang. Dan, seperti biasanya aku diminta untuk menjemput ke seberang jalan raya, tepat sekitar 2.5 km ke arah selatan dari rumahku. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi kasian jika harus jalan kaki pada siang, terik matahari.
Hari ini sepertinya memang hari yang menyenangkan; bisa berkumpul dengan anak. Meski, hanya 2 hari, saat dia libur kuliah. Dan, mendapat kabar tentang warisan tanah. Tetapi, aku bertekad bahwa tanah itu adalah milik anakku. Dan, kedatangannya dia-pun tidak aku tunjukkan berita tersebut. Agar dia tidak jumawa, merasa punya harta benda.
Sore hari saat aku dan anak duduk santai di teras. Tiba-tiba Bulek, adik dari bapakku yang tinggal di Panggul mengirim pesan.
“Mimin, sekarang adikmu berdinas di Kota T, coba kapan-kapan kamu sapa ya”. Pesan Bulek yang terlihat di papan WA-ku.
“Alhamdulillah, ya pasti Bulek. Sudah lama tidak bertemu dengan Andika”. Jawabku singkat saja.
Aku memang sudah lama tidak ke Panggul sejak bapakku meninggal, tiga tahun lalu. Tetapi, kedekatanku dengan keluarga bapak berbeda dengan kelaurga dari ibu. Mereka sangat baik semuanya. Saling membantu, saling nyengkuyung diantara kelaurga kakak dan adik-adik dari Bapak. Sepupu-sepupu aku dari keluarga bapak juga guyub dan rukun.
Pada saat Bapak masih ada, seingatku anak Bulek (Andika) adalah lulusan akademisi polisi (AKPOL). Dan, setelah itu bertugas ke berbagai Kota di Indonesia. Aku tidak tahu, di mana saja dia bertugas. Hanya satu yang kuingat, setelah lulus dari AKPOL, dia bertugas pertama kali di Kalimantan Utara. Setelah itu, tidak pernah tahu lagi kabarnya.
Setelah sholat isyak berjamaah dengan anakku. Tiba-tiba kepalaku pusing, mata berkunang-kunang. Dan, tidak sadarkan diri. Menjelang tengah malam, saya sadar. Ternyata sudah terbaring di Rumah Sakit terdekat. Disampingku anak putriku, dan menceritakan semua yang sudah kualami. Ya Allah, mengapa badanku akhir-akhir ini mudah sakit.
Sejak kepergian suami, beban hidupku memang terasa amat berat. Sepertinya belum siap menerima kenyataan ini. Tidak memiliki pekerjaan, apalagi putriku harus kuliah. Aku tidak tega jika ia tidak meneruskan kuliahnya. Ia amat semangat dan ingin terus kuliah. Aku menjadi sulit tidur, begitu juga kurang begitu selera makan. Aku sadar, pikiran itulah yang membuatku sekarang menjadi rapuh.
Kadang, ingin membeli obat tidur, biar bisa tidur pulas. Tetapi, aku selalu ingat pesan putriku agar tidak membeli obat tidur. Karena itu obat yang berbahaya. Ya, akhirnya aku harus bertahan hidup dalam kekurangan tidur dan makan.
#3 Cerbung, By Cak Nur