teradesa.com. Kemarin, aku bertemu dengan beberapa orang yang menurutku pantas untuk dijadikan pembelajaran. Ada kolega yang sudah berjanji untuk finishing beberapa aspek dari unit yang kubeli, tetapi pada saat unit kuambil tidak semua janjinya dipenuhi. Awalnya, aku nggedumel dalam pikiran imajinasiku sampai ke hal-hal lainnya. Beberapa waktu kemudian, aku memilih berdamai dengan ekspektasiku. Cooling down.
Ini, berkaitan dengan prinsip hidup yang pernah kutulis sebelumnya, slow living. Kewajiban kita adalah berhati-hati dalam menjalani pekerjaan dan berkoneksi dengan orang lain. Kehati-hatian dan menghindari dari cara curang terhadap orang lain suatu keniscayaan. Toh demikian, kita kadang tetap dicurangi orang lain, no problem. Biar dia yang mempertanggungjawabkannya dihadapan-Nya. Simple kan.
Sore hari, saat mendapat tugas mewawancarai beberapa orang untuk mengakhiri sebuah diklat profesi hari ke-6, aku menemukan beberapa cerita pengalaman masing-masing individu yang cukup beragam. Ada yang bahagia, sedih, dan berjuang sepanjang usia [paruh baya]. Aku hanya sebatas bisa berempati, dan mendoakan semoga semua selalu dalam lindungan Allah swt dan dikuatkan.
Pelajaran yang dapat diambil dari kejadian/cerita, diantaranya; Pertama, hidup tidak hanya persoalan bagaimana mewujudkan keinginan material. Profit material seharusnya tidak menjadi orientasi hidup satu-satunya. Untuk apa mendapatkan keuntungan materi, tetapi dibaliknya menyakiti hati orang. Rezeki yang didapatkan dengan menimbulkan bekas luka hati orang lain hanya akan menyebabkan tidak berkahnya suatu rezeki. Ada banyak wujud tidak berkahnya suatu rezeki, baik yang bisa diamati ataupun tidak terlihat.
Kedua, hidup ini sejatinya proses yang tiada henti. Setiap gerakan imajinasi pikiran, sikap, ayunan langkah, dan tidakan adalah ujian, apakah seseorang layak mendapatkan keinginannya, tertunda atau diwujudkan dalam bentuk lain. Tugas manusia adalah memperjuangkan keinginan dan tujuannya berdasarkan nilai-nilai sosial dan spirit beragama. Sunnatullah [hukum alam] yang tidak dapat dihindari setiap manusia adalah prinsip causalitas.
Jika seseorang menanam kebaikan, maka ia pasti menuai kebaikan. Dan, sebaliknya, jika seseorang menanam keburukan, maka ia akan menuai keburukan juga. Perwujudan causalitas bermacam-macam. Ada yang dapat terbaca oleh orang lain, dan ada pula yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan. Maka, kemampuan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpa orang lain dan/atau diri sendiri adalah hal yang penting, agar hidup terus menjadi lebih berkualitas.
Cuplikan diantara ceritanya begini. Awalnya Bu Kun, hidup bahagia bersama suami dan kelima anaknya. Petaka muncul, saat suaminya, yang pejabat di sebuan kantor mendadak meninggal saat perjalanan pulang dari 3 hari mengikuti diklat di Surabaya, tahun 2017. Ia berkaca-kaca menceritakan semuanya. Semoga Allah swt mengampuni almarhum dan melindungi Bu Kun dan keluarganya.
Selain itu, ada Bapak Zubaidi, ustadz Madrasah dan Pesantren di Sampang, Madura. Sudah 28 tahun mengajar, sampai saat ini, ia masih memiliki himmah untuk bisa menunaikan ibadah umrah dan/atau haji. Maka jauh-jauh ke sini untuk mengikuti diklat, harapannya menjadi jalan untuk meraih himmah-nya tersebut. Aku mendoakan semoga ke depan tetap diberi nikmat sehat dan menjadi petugas haji.
Setiap orang adalah murid, yang harus terus belajar. Belajar memecahkan masalah yang dihadapi sesuai dengan nilai-nilai dan moral spirit agama dan sosialnya. Erick Fromm menyebutnya sebagai problem posing. Individu seseorang atau kelompok [masyarakat] selalu dihadapkan pada masalah-masalah yang harus dipecahkan. Kemampuan memecahkan setiap masalah adalah step pembelajaran yang akan menaikkan great hidupnya.
Dunia ini adalah sekolah besar. Di sekolah ini-lah sejatinya kita belajar. Belajar menjadi individu diri yang baik, belajar menjadi pejabat yang amanah, belajar menjadi warga masyarakat yang baik, belajar menjadi anak yang dapat dibanggakan orang tua, belajar menjadi orang tua yang dihormati keluarganya, belajar menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya, dan belajar menjadi orang yang terus dikenang kebaikannya.
Tuhan-lah satu-satunya guru yang mengajarkan tentang convergensi setiap hambanya untuk menjadi dirinya sendiri sebagai individu hamba yang akan dimulyakan kelak. Setiap hamba tidak perlu mengcopas terhadap hamba lainnya. Fokus-lah pada diri sendiri, naik-turunkan ekspektasi, himmah, dan keinginan. Kemampuan adaptabilitas dan elastisitas diperlukan bagi setiap individu hamba dalam menjalani setiap ragam ujian di sekolah besar ini. Cak Nur