teradesa.com. Saya sangat sadar bahwa kalimat-kalimat berikut masih bersifat debateble. Bukan saja karena ujung dari tulisan ini, selain bertujuan untuk menarik kembali netralitas makna radikalisme, yang sudah kadung dianggap negatif. Tetapi, juga untuk mengasah kesadaran kritis untuk melihat realitas secara obyektif.
Dalam suatu pelatihan yang kami lakukan beberapa tahun lalu, yang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat pinggiran. Misalnya pengurus lokalisasi, wanita pekerja seks (WPS), anak jalanan, pecandu narkoba, komunitas gay dan waria. Dan, pemilik cafe yang tergabung dalam komunitas PAWAHITA.
Secara garis besar pandangan-pandangan mereka tentang realitas obyektifnya mendasarkan pada pikiran atau refleksi kesadaran obyektif. Misalnya muncul pandangan mencita-citakan anaknya untuk nyantri di pondok pesantren, merasa tidak punya hak atas tubuhnya sendiri, ingin bebas dari ketergantungan napza, dll.
Kesadaran obyektif perlu saya garis bawahi. Ini, menjadi faktor signifikan pentingnya menarik kembali makna radikalisme ke titik obyektif (nol/0), bahkan positif. Akhir-akhir ini memang radikalisme dipahami sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada kelompok tertentu memerangi radikalisme, tetapi justru menontonkan wajah radikal pula. Tidak suka radikal tetapi ia menujukkan sikap radikal. Jeruk minum jeruk.
Radikalisme yang didasarkan pada berkesadaran obyektif justru akan melahirkan sikap kreatif dan positif. Dalam suatu kongres yang diikuti oleh anak-anak pecandu napza seluruh Indonesia yang dilaksanakan di gedung PKBI di Jakarta, ketepatan saya ikut. Semuanya satu suara bahwa mereka adalah korban (victim).
Pemakai narkoba adalah korban (victim). Kesadaran obyektif ini diungkapkan dalam beragam gaya kreatifnya anak-anak muda. Untaian kalimat dan statemen dalam suatu diskusi kongres, menurutku mencerminkan perspektif baru. Atraksi drama bercampur puisi bernada kritis sosial. Beragam coretan ungkapan kritis dalam kaos yang dijual, dll.
Mereka menggugat penguasa yang lebih suka bermain mata, bahkan terang-terangan berselingkuh dengan bandar besar. Dan, memusuhi pemakai. Dalam kongres itu, mereka juga mengkritisi undang-undang produk perselingkungan pemerintah, legislatif dan “pengusaha” narkoba. Tetapi-pun demikian, suara kritis mereka hanya terdengar dalam telinga internal komunitas semata.
Para WPS juga memiliki kesadaran kritis. Ia tidak lagi memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Ya, tubuh mereka dikuasai oleh pembeli, para kiwir-nya (pacar). Subyek lokalisasi tidak lagi WPS, tetapi pengurus lokalisasi, pengusaha seks (mami-papi). Lokalisasi menjadi “sawah” baru bagi semua orang yang meggantungkan pendapatannya pada industri ini.
Struktur sosial telah menciptakan WPS sebagai komoditi bisnis dalam pusaran ketidak-berdayaan. Formalisasi kelembagaan lokalisasi semakin menjadikan WPS sebagai obyek yang sepadan dengan barang lainnya. Perasaan, kasih sayang, cinta, harapan, tujuan, emosi dan sisi kemanusiaannya terengguh oleh sistem kontrol yang diciptakan secara sengaja.
Fenomena anak jalanan dan/atau pekerja anak hampir sama. Dalam usia anak yang seharusnya dioptimalkan untuk bertumbuh dan berkembang, tetapi nyatanya tergadaikan (bounded) oleh ketidakberdayaan orang tua mereka. Dari beberapa hasil penelitian, karena ketidakberdayaan orang tuanya tenaga dan anak-anak mereka digadaikan kepada para majikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berbeda dengan radikalisme yang ditumbuhkan oleh semangat sektarianisme, justru akan melahirkan radikalisme baru. Lebih dari itu, sektarianisme yang disuburkan oleh fanatisme senantiasa akan bersifat mengebiri kreatifitas, tetapi justru destruktif. Sektarianisme menciptakan mitos-mitos, dan, karenanya dapat menimbulkan alienasi. Banyak contoh, radikalisme yang didasarkan pada sektarianisme, mitos, dan fanatisme kelompok justru melahirkan kekerasan baru.
Sektarianisme, dalam banyak hal justru mengebiri kebabasan. Kebebasan adalah ciri utama manusia sejati. Seseorang pasti akan mengusahakan dirinya bebas. Bebas dalam berfikir, bebas dalam bersikap, dan bebas dalam bertindak. Kebebasan diri akan melahirkan jiwa, sikap, dan bertindak secara kritis. Kesadaran kritis inilah yang dicitakan bersama agar dapat melahirkan tatanan sosial yang baik.
Kesadaran kritis pada puncaknya dapat melahirkan tindakan radikal dalam makna positif. Kesadaran kritis, inilah yang mendasari bersatunya anak-anak muda dari seantero Indonesia untuk menyatukan cita dalam bingkai sumpah pemuda. Sumpah pemuda itulah yang selanjutnya menjadi inner force anak-anak mudah segera memerdekan bangsa dari penjajah. Kesadaran kritis, itulah yang mendasari sebagian anak jalanan dan WPS merubah perilakunya.
Radikalisasi dalam makna demikian ini mencakup peningkatan keyakinan terhadap posisi yang telah dipilih seseorang. Meminjam istilah penyanyi, Suliyana “sadar posisi”. Dengan demikian, keterlibatan yang semakin jauh dalam usaha untuk mengubah realitas yang konkrit dan obyektif. Sebaliknya, sektarianisme, karena membangun mitos-mitos dan irasional, maka dapat memblikkan realitas menjadi sebuah “realitas” palsu. By Nur