teradesa.com. Kemarin pagi, saya berkunjung ke rumah Pak Damsir, seorang buruh tani dan memiliki dua sapi. Katanya, ia mau menjual satu sapinya untuk membeli sepeda motor bagi anaknya yang sedang sekolah di SMA. Hanya ada satu sepeda motor tua di rumahnya, yang biasanya digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari mencari pakan sapi hingga mengantar anak ke sekolah.

Menurutku Pak Damsir adalah sosok yang mudah diajak berbicara tentang banyak hal. Rumahnya kecil dan sederhana, dan lantainya diplester semen. Ia menceritakan tentang perjuangannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga di tengah keterbatasan. Meski demikian, semangatnya untuk mendukung pendidikan anaknya tidak surut meskipun situasi ekonomi keluarganya sulit.

Dia kerja serabutan, kadang manjing ke tetangga, jualan buah keliling, dan jika musim kemarau mencari pasir di sungai Brantas. Demi keluarganya, Pak Damsir bekerja apa saja, yang penting kebutuhan keluarga tercukupi, dan anak-anaknya bisa sekolah. Ia berharap tinggi terhadap anak-anaknya untuk kelak menjadi anak sukses. Harapan yang sangat wajar, bagi semua orang tua.

Dalam obrolan itu, Pak Damsir nyeletuk, menanyakan kabar mengenai kenaikan pajak yang akan berlaku mulai Januari 2025. Saya menjelaskan bahwa dua komponen pajak akan naik, yaitu: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 12% dan pajak kendaraan bermotor naik 66%. Tiba-tiba ia menarik nafas panjang, sambil sesekali nyesep rokok dan nyeruput kopi disampingnya.

Saya paham, pikiran yang berkecamuk di kepala Pak Damsir. Masih mau membeli motor saja, sudah diselimuti beban pajak yang bertambah. Kehidupan keluarga harus tetap jalan. Saya menyampaikan, mau tidak mau sebagai orang desa bisanya hanya menyesuaikan dan mengontrol kebutuhan yang hanya prioritas. Misalnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan fisiologis dan keamanan ekonomi keluarga. Jangan sampai terjebak hutang.

Sudah bisa dibayangkan bahwa kenaikan pajak secara tidak langsung akan berdampak pada harga kebutuhan pokok, sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat. Dalam konteks ini, tentu harga-harga kebutuhan pokok dan skunder  juga berubah. Ketika harga barang naik akibat pajak, konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tertentu mungkin berkurang, terutama barang yang tidak masuk kategori kebutuhan primer.

Pak Damsir adalah potret warga yang sangat rentan dan tidak berdaya. Berpegang pada prinsip hidup “bertahan dan apa adanya” merupakan pilihan tepat bagi kelompok masyarakat ini [relavan dengan slow living, yang sudah saya tulis]. Filosofi hidup ini sejalan dengan teori resiliensi, yang menunjukkan kemampuan individu atau komunitas untuk bertahan dan bangkit meski menghadapi tekanan.

Selain itu, cara pandang Pak Damsir cukup baik. Ia masih memandang pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang. Meski harus berkorban, ia tetap berupaya memberikan akses pendidikan terbaik bagi anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan-pun sudah memahami pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan [deprivation trap].

Tentu, ada kekhawatiran pada kalangan masyarakat kelas bawah dan menengah. Menjual sapi untuk membeli motor merupakan pilihan rasional, untuk mengurangi beban operasional sekolah. Sehingga alokasi biaya tersebut bisa digunakan untuk pembiayaan kebutuhan primer keluarga yang terdampak kenaikan pajak. Meskipun demikian, pada masyarakat kelas bawah biasanya ada insentif pada listrik, bensin, dan bantuan langsung lainnya.

Konsep ini yang biasanya dilakukan Pemerintah. Yakni, pemerintah biasanya selalu mempertimbangkan dampak kebijakan fiskalnya, terutama pada kelompok rentan dan masyarakat kelas bawah. Dengan memberikan subsidi atau insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai langkah konkrit mitigasi awal. Hal ini, saya kira relevan dengan konsep keadilan distributif, yang mengutamakan pemerataan beban ekonomi sesuai kemampuan individu.

Sementara, pada kelas menengah bisa jadi akan turun menjadi kelompok masyarakat rentan. Misalnya pendapatan tetap, sementara pengeluaran semakin meningkat dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kenaikan pajak. Belum, lagi yang sedang viral pegawai pajak mengintai tagihan pajak pada kelas-kelas ini. Seperti pedagang ayam yang berhutang pajak sampai Rp. 500juta. Pajak, akhir-akhir ini menjadi hantu masyarakat.

Mari kita renungkan bersama, kisah Pak Damsir mengingatkan kita bahwa di balik angka-angka statistik, ada kehidupan nyata yang bergulat dengan kebijakan. Perencanaan fiskal yang berpihak pada masyarakat kecil tidak hanya dapat membantu mereka untuk bertahan, tetapi juga memberi harapan untuk masa depan keluarganya. So, kebijakan yang bijaksana harus memadukan antara kepentingan pertumbuhan ekonomi, keamanan APBN dengan keadilan sosial. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top