teradesa.com. Membaca kisah Zulkurnain (QS. al-Kahfi/18) terbayang dalam pikiran penulis, dia-lah bricoleur yang sesungguhnya. Betapa tidak, dia dapat mengusai “peradaban” Barat dan Timur. Kemampuannya menguasai Barat dan Timur, bukan semata anugerah dari Tuhan, tetapi memang dia mempunyai suatu metode (penelitian) yang ditempuhnya untuk menghasilkan solusi (brikolase) bagi kedua kelompok mayarakat tersebut. Kata sababa disebut 4 kali dalam QS. al-Kahfi/18, yaitu; pada ayat; 84, 85, 89, dan 92. Sababa adalah metode yang ditempuh oleh Zulkurnain untuk menghasilkan solusi (brikolase).
Penyebutan sababa dalam 4 kali menujukkan bahwa betapa pentingnya individu/masyarakat memiliki pengetahuan dan ketrampilan metode penelitian (dalam makna sederhana atau komplek). Tidak sebatas itu, pengetahuan dan ketrampilan tersebut hendaknya ditradisikan dalam setiap upaya pemecahan masalah. Tidak ada satupun individu/kelompok masyarakat yang dapat menghasilkan solusi dari setiap masalahnya tanpa metode yang baik. Sementara, metode (teknik) harus terus diperbaiki agar menghasilkan solusi yang baik, efektif dan efisien.
Penggambaran al-Qur’an tentang Zulkurnain ini juga dapat kita maknai bahwa apabila seseorang atau umat Islam ingin kembali menguasai peradaban Barat dan Timur, maka jalan satu-satunya adalah dengan cara mentradisikan jalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu; mengusai ilmu filsafat, teori, dan metode penelitian. Bangsa Yunani pernah mengalami kejayaan karena dengan mengembangkan tradisi filsafat. Islam pernah mengalami kemajuan dengan menguasai peradaban Timur Tengah, sebagian daratan Eropa, dan Asia Timur—adalah dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan Islam dan filsafat.
Peradaban Barat yang berkembang sampai saat ini, bahkan menguasai dan menghegemoni peradaban dunia diawali dengan memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat tidak hanya mampu menjadi kampium peradaban modern, tetapi juga mampu mentransformasikan dari Negara/Bangsa tradasional menjadi Negara/Bangsa modern. Ideologi pembangunan modern (liberal, sosialis, negara kesejahteraan) berkembang, dan menyeruak bagaikan jamur di musim hujan—diadopsi oleh negara-negara lain. Sekarang tidak ada lagi Negara bar-bar—penguasaan Negara satu terhadap Negara lainnya bersifat lebih soft (new imperialisme).
Mau tidak mau, sekarang setiap orang/Negara/Bangsa hendaknya lebih fokus mentradisikan meneliti. Hasil penelitian (brikolase) itulah yang diharapkan bermanfaat bagi semua bangsa. Bricoleur adalah individu/kelompok orang yang serba bisa atau seorang yang mandiri dan profesional. Dari tangan-tangan para bricoleur itulah menghasilkan solusi (brikolase), yaitu; serangkaian praktik yang disatupadukan dan disusun secara rapi sehingga menghasilkan solusi bagi semua persoalan umat dan bangsa. Brikolase pada puncaknya dapat dimanfaatkan oleh orang, perusahaan, dan negara untuk pembangunan.
Berdasarkan pengalaman negara-negara/bangsa, baik pada era peradaban Islam dan Modern (Barat) terjadi kerjasama yang baik antara pemimpin/kepala negara dengan para ilmuwan dan lembaga-lembaga penelitian. Misalnya ideologi sosialis, liberal, dan negara kesejahateraan yang dikembangkan di Uni Sovyet (sebelum terpecah belah), Amerika Serikat dan Eropa adalah berdasarkan hasil kajian para ilmuwan/lembaga penelitian yang dimilikinya. Sedangkan, pada era Islam, misalnya pada masa kemajuan Umaiyyah dan Abbasiyah juga terjadi sinergi yang baik antara ulama’, lembaga pendidikan dengan Raja. Ilmuwan mendedikasikan ilmu hasil penelitian (brikolase), sedangkan kepala negara memanfaatkan untuk pembangunan.
Bagaimana dengan Indonesia? Penulis berpandangan bahwa tidak ada jalan lain, kecuali pemerintah dan ilmuwan/lembaga penelitian perlu bersinergi untuk menghasilkan solusi yang terbaik untuk kepentingan umat dan bangsa, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Kahfi/18: 94-98). Bukan, sinergi yang bersifat parasite—memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk memperkaya diri dan merusak pembangunan. BRIN misalnya sudah seharusnya menghasilkan brikolase dari setiap problem pembangunan, baik pada aspek politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya. BPIP sudah seharusnya mampu menjadikan Pancasila sebagai ideologi arus utama pembangunan di Indonesia. Cak Nur