teradesa.com. Ketika seseorang mengucap kata, “laut”, maka yang terbayang adalah hamparan air biru yang luas, ombak meliuk-liuk diterjang angin, serta pemandangan sekitarnya yang meneduhkan. Seketika, pikirannya membangun makna laut sebagai sesuatu yang indah dan meneduhkan pikiran dan hati. Cocok untuk merefresh pikiran dan jiwa. Tidak, bagi lainnya, pasti membayangkan dan memaknai laut menurut perspektif pengetahuan dan pengalamannya masing-masing.
Begitulah, Ferdinand de Sausure kira-kira dalam kajian filsafat bahasanya. Baginya, tanda linguistik terbagi menjadi dua unsur, yaitu; signifiant adalah penanda (yang menandai) dan signifié adalah petanda (yang ditandai). Penanda adalah konsep atau makna dari tanda bunyi yang ada dalam pikiran, sedangkan petanda adalah bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari satuan bunyi (fonem) bahasa yang bersangkutan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.
Bahasa yang kita ucapkan mengandung dua unsur, yaitu unsur bunyi dan unsur makna. Keduanya merupakan unsur dalam-bahasa atau disebut intralingual. Unsur dalam-bahasa dapat merujuk kepada suatu referenc di luar-bahasa atau ekstralingual. Setiap ucapan seseorang merujuk pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu atau imajinasi. Terdapat unsur material dan makna subyektif.
Bahasa, pada setiap komunitas menjadi instrumen untuk menghasilkan budaya. Budaya selalu terdiri dari dua model, yaitu community culture—yang bersifat subyektif-parsial. Dan, general culture—yang bersifat obyektif-universal. Keduanya bersifat saling bertukar fungsi; penyebab-akibat. Budaya komunitas, selama ia mampu bertahan dan dapat diterima oleh komunitas-komunitas lainnya, maka ia akan beralih menjadi budaya universal. Dan, begitu pula sebaliknya.
Budaya berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah adalah merupakan budaya komunitas Muhammadiyah. Perkembangan budaya Muhammadiyah tidak berkembang secara taken for granted. Tetapi berkembang secara terencana, sistematis dan diturunkan dari satu generasi ke genarsi berikutnya. Sehingga saat ini telah menjadi pola budaya yang mudah diterima oleh komunitas-komunitas lainnya. Itulah—motto yang dibangun adalah memajukan Indonesia mencerahkan semesta.
Edgar Schein membangun teori model budaya organisasi, yang dikenal dengan schein’s model of organization culture. Terdapat tiga level budaya oragnisasi. Pertama; berdasarkan asumsi oragnisasi. Hal ini tidak tersadari dan tidak tampak. Misalnya kepercayaan, persepsi, pikiran, dan perasaan. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dibangun untuk lebih bermanfaat bagi orang lain, memberdayakan, memerangi kebodohan, mengurangi kemelaratan, dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Inilah yang dikenal dengan ideologi al-ma’un.
Kedua, nilai-nilai yang dianut (espoused values). Ini, berkaitan dengan filosofi beroraganisasi, strategi dan tujuan. Filosofi dikalangan Muhammadiyah diantaranya adalah hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Semangat bermuhammadiyah adalah semangat pengabdian untuk umat dan bangsa. Didirikan lembaga-lembaga; pendidikan, sosial, kesehatan, keuangan—semua diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa. Dan, tidak satupun lembaga-lembaga itu dimiliki oleh keluarga dan/atau pribadi anggota atau pengurus. Semua milik Muhammadiyah.
Ketiga, peninggalan (artefact). Ini, berkaitan dengan struktur dan proses-proses oragnisasi yang terlihat. Lembaga-lembaga yang didirikan Muhammadiyah telah berkembang mulai Desa, Kota/Kabupaten, Propinsi, Nasional bahkan Internasional. Mulai dari lembaga pendidikan, dakwah-sosial, rumah sakit, perbankan, dan masjid-masjid. Diantara lembaga-lembaga di luar negeri, misalnya di Singapur, Malaysia, Australia, Mesir, Madrid-Spanyol, dan Amerika Serikat.
Dana cash perserikatan yang tersimpan di sejumlah bank syariah sebesar Rp 15 triliun. Sedang nilai asetnya mencapai Rp 400 Triliun, baik yang berupa tanah, bangunan dan kendaraan. Dengan dana segar dan aset yang sebesar itu, maka Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terkaya di Indonesia. Kekayaannya berbanding lurus dengan khazanah kekayaan intelektual dan spiritual anggota perserikatan.
Bagitulah, Muhammadiyah berkembang dan menemukan budaya lokal yang mendunia. Maka, bukan berlebihan jika oragnisasi ini memilih jalan sepi (tidak larut dalam kekuasan dan politik praktis) dalam membangun umat dan bangsa, memartbatkan Indonesia, mengembangkan budaya Islam berkemajuan yang progresif untuk dunia yang lebih luas.
Penulis: Cak Nur