teradesa.com. Pekan ini viral unggahan Erina Gudono pelesir ke Amerika Serikat menggunakan privat jet, yang diduga gratifikasi dari bos shoophe. Tidak tanggung-tanggung, menurut kalkulasi netizen biaya pelesir yang tidak kurang dari sepekan itu menghabiskan dana skitar 2,5 Milyar. Bagi masyarakat awam, tidak pernah terbayang berapa karung uang itu. Ini tindakan kurang baik, di saat kebanyakan masyarakat Indonesia hanya untuk membiayai kebutuhan primer saja sering tidak cukup.
Akhir-akhir ini masyarakat sering disuguhi perilaku hedonistik dari kalangan pejabat dan keluarganya. Mereka sering memamerkan kemewahan yang diunggah diberbagai platform media sosial, baik berupa rumah, kendaraan, dan kepemilikan barang dengan merk mewah. Bagi mereka hal demikian adalah hal biasa, tetapi bagi kalangan masyarakat hal demikian menjadi bukti kesenjangan yang begitu nyata.
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran publik tentang kesenjangan sosial dan penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun beberapa pejabat mengklaim bahwa kekayaan tersebut berasal dari bisnis pribadi, masyarakat tetap menyoroti potensi korupsi dan pengalihan dana publik untuk mendanai gaya hidup hedonistik ini, yang memperburuk citra birokrasi di Indonesia.
Saking biasanya, unggahan Jelita Jeje tentang pembelaannya terhadap perilaku Kaesang dan Erina justru menunjukkan kebobrokan perilaku pejabat dan keluarga. Gratifikasi dianggapnya sebagai hal biasa dan lumrah. Istri Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, Farid Irfan Siddik ini, dengan gamblang menjelaskan ke khalayak umum tentang kebiasaan suami dan keluarganya menerima hadiah dan pelumas dari para pebisnis di Indonesia.
Dalam sejarah Islam, perilaku hedonistik dianggap bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Hadis. Islam mendorong umatnya untuk hidup sederhana, bersikap adil, dan menjauhi kemewahan yang berlebihan. Hedonisme dipandang sebagai jalan yang dapat menjauhkan seseorang dari ketaatan kepada Allah swt dan fokus pada kehidupan duniawi.
Di Indonesia, pengaruh hedonisme mulai terlihat pada era kolonial, ketika kaum elit pribumi mulai mengadopsi gaya hidup mewah ala Eropa. Setelah kemerdekaan, perkembangan ekonomi memperkuat budaya konsumsi dan kemewahan di kalangan elite, meskipun hal ini sering kali bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan agama.
Pada era Orde Baru, perilaku hedonistik semakin nyata di kalangan pejabat dan pengusaha, yang kerap memamerkan kekayaan dan kekuasaan mereka. Gaya hidup ini ditoleransi bahkan didorong oleh sistem patronase yang mengaitkan kekayaan dengan status sosial dan kekuatan politik, tentu, puncaknya adalah memperkuat ketimpangan sosial.
Dan, sekarang hedonisme di Indonesia berkembang melalui pengaruh globalisasi dan media sosial, di mana pamer kekayaan menjadi trend di kalangan generasi muda dan elite. Namun, hal ini menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang mengingatkan akan pentingnya nilai-nilai kesederhanaan dan integritas, sebagaimana diajarkan dalam norma sosial dan agama.
Budaya hedonistik sering digunakan untuk menaikkan popularitas konten media sosial, dengan memamerkan gaya hidup mewah seperti barang branded, liburan eksklusif, dan makanan mahal. Konten semacam ini menarik perhatian karena memberikan gambaran kehidupan ideal yang diidamkan banyak orang, meski sering kali tidak mencerminkan realitas.
Pengaruh budaya selfie turut memperkuat trend ini. Selfie di lokasi mewah atau dengan barang-barang mahal memperlihatkan kesuksesan dan status sosial yang diinginkan. Dengan teknologi yang mendukung pengeditan foto, pengguna dapat menciptakan citra diri yang lebih glamor, memproyeksikan kehidupan sempurna yang penuh kenikmatan.
Kecendrungan demikian menunjukkan bahwa perilaku hedonistik mendorong kompetisi sosial dan memperkuat tekanan sosial untuk menampilkan kehidupan mewah. Akibatnya, pengguna media sosial cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan rendah diri atau kebutuhan berlebihan untuk mengikuti gaya hidup hedonistik demi diterima dalam lingkungan sosial mereka. Cak Nur