teradesa.com. Sudah jamannya, semua orang, anak-anak sampai dewasa pernah dan/atau menyukai selfi. Berfoto, tidak hanya sekarang , sejak beberapa puluh tahun lalu kebanyakan orang mengabadikan moment pentingnya dengan berfoto. Hanya, teknik dan kantitasnya berbeda. Sekarang setiap orang dapat melakukan selfi, tentu, karena camera sudah terintegrasi dengan handphon, plus koneksi internet.
Budaya selfie dapat dianalisis menggunakan teori produksi-konsumsi, di mana setiap individu dapat menjadi produsen, sekaligus konsumen. Selfi, diproduksi untuk menunjukkan identitas pribadi atau pencapaian tertentu, misal kelulusan. Proses ini bukan hanya tentang pengambilan gambar, tetapi juga dapat membentuk cara individu mengonsumsi dirinya sendiri melalui media digital (Baudrillard, Simulacra and Simulation, 1981).
Selfi, juga dapat memperlihatkan hubungan antara produksi citra diri dan konsumsi sosial. Pada saat individu memproduksi selfi, maka ia sejatinya berpartisipasi dalam jaringan sosial yang menuntut validasi. Konsumsi, terjadi ketika foto dibagikan, dilihat, dan dikomentari (tiktok, ig, & story). Hal ini menunjukkan bahwa makna selfi telah melampaui gambar itu sendiri, dan masuk kedalam interaksi sosial.
Selain itu, dalam analisis semiotik, maka selfi dapat dimaknai sebagai simulacrum yang berfokus pada nilai-nilai konsumsi simbolis. Orang sering menggunakan selfi untuk menampilkan kehidupan yang diinginkan, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas. Produksi selfi ini menggambarkan “keaslian” yang dapat dikonsumsi oleh audiens digital, dan tentu, menciptakan hiper-realitas (Baudrillard, The Consumer Society, 1970).
Pengakuan dari orang lain dalam bentuk interaksi digital, dapat mendorong individu untuk terus menghasilkan konten tentang diri mereka sendiri. Validasi ini menjadi semacam “imbalan” psikologis yang memperkuat perilaku produksi-konsumsi diri. Dengan kata lain, ada siklus produksi identitas diri yang didorong oleh kebutuhan akan penerimaan sosial.
Dalam pandangan teori ini, selfi juga dapat menunjukkan bagaimana selfi mengubah cara kita berinteraksi dengan identitas. Dengan memproduksi selfi yang sering kali ideal, maka individu secara tidak sengaja mengkonsumsi dan memproduksi konsep diri yang berlapis-lapis. Hal ini dapat menciptakan siklus, di mana citra diri yang dikonsumsi mendorong baginya untuk memproduksi selfi berikutnya. Kemudian disebut sebagai mengukuhkan diri dalam budaya performatif.
Budaya performatif merujuk pada tindakan untuk mengekspresikan identitas diri melalui performa atau aksi yang dapat lihat orang lain melalui media sosial. Jika ditinjau dari ekonomi sosial, maka budaya performatif dapat menciptakan nilai pasar dari aksi yang dapat dilihat publik, seperti endorsement. Identitas personal inilah yang kemudian menjadi komoditas yang menghasilkan keuntungan melalui pengaruh.
Sampai di sini, kemudian individu mempola budaya selfi kedalam pasar ekonomi. Mereka berlomba bagaimana ia secara aktif memproduksi dan mengonsumsi citra diri untuk tujuan yang lebih luas, yakni profit ekonomi, tidak sekedar psikologis. Proses ini berfokus pada penciptaan “persona” online yang menarik, di mana pengguna berusaha menampilkan diri dengan cara penciptaan citra diri.
Penciptaan citra diri di media digital, juga dapat memungkinkan pembentukan status sosial. Citra yang positif atau “sempurna” yang diproduksi secara konsisten dapat memberi kesan keberhasilan, popularitas, atau bahkan status social tertentu dilevel sosial digital. Pengguna memanfaatkan media digital sebagai platform untuk menunjukkan kelebihan atau gaya hidup yang ideal untuk meraih status yang diinginkan. Cak Nur