teradesa.com. Film the dictator’s playbook adalah serial dokumenter yang mengupas strategi para diktator dalam meraih, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Menggunakan studi kasus dari berbagai rezim, film ini menunjukkan bagaimana propaganda, represi, dan manipulasi institusi demokrasi digunakan untuk mengendalikan rakyat. Selain itu, film ini juga mengeksplorasi dampak jangka panjang pemerintahan otoriter terhadap masyarakat dan stabilitas politik global.
Cerita dalam film ini, menginspirasi lahirnya “kegerahan” yang mungkin belum banyak dirasakan kebanyakan orang di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak! Tidak hanya sistem regenerasi pemerintahan yang dikangkangi oligarki. Tetapi mereka sudah masuk kedalam parpol, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Misalnya ICW membocorkan 60% anggota legislatif berafiliasi bisnis. Tentu, dapat ditambah pejabat yang terjebak pada “permainan” judol dan bandar.
Demokrasi Indonesia telah mengalami distorsi dalam berbagai bentuk sepanjang sejarahnya. Di era orde lama, konsep “demokrasi terpimpin” berpusat pada kekuasaan Presiden. Di orde baru, demokrasi bertransformasi menjadi otoritarianisme “pancasila”, di mana kebebasan politik ditekan demi stabilitas. Era reformasi ini, malah menjadikan kaum oligar bebas berkuasa. Inilah bentuk demokrasi elitisme sebagaimana diteorikan oleh Robert Michels.
Sejatinya, demokrasi mencakup dua sisi sekaligus, yaitu; kebebasan dan ketaatan. Prinsip kebebasan memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk beraspirasi (hak memilih dan dipilih), sebagaimana prinsip kebebasan sipil oleh John Locke. Namun, kebebasan harus diimbangi dengan ketaatan hukum demi menjamin keadilan sosial. Ketika hukum ditegakkan, kebebasan menjadi medium kesederajatan. Tanpa ketaatan hukum, demokrasi berubah menjadi anarki atau tirani mayoritas.
Era reformasi membuka ruang bagi demokrasi prosedural, tetapi memunculkan demokrasi oligarki. Menurut Jeffrey Winters, oligarki adalah konsentrasi kekuasaan ekonomi di tangan minoritas yang memengaruhi kebijakan politik. Di Indonesia, oligarki ini terlihat dalam dominasi eksekutif dan partai politik oleh elite yang memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi. Hal ini serupa dengan kasus Rusia pasca-Soviet, di mana oligarki ekonomi menguasai politik, melemahkan demokrasi substantif.
Fenomena menarik belakangan ini, partai politik di Indonesia menjadi instrumen oligarki, kehilangan fungsi aslinya sebagai wadah aspirasi rakyat. Michels menyebut fenomena ini sebagai iron law of oligarchy, di mana organisasi besar cenderung dikuasai elit. Hal ini menyebabkan partai politik lebih fokus pada kepentingan elite daripada rakyat. Bandingkan dengan negara seperti Jerman, di mana partai politik memiliki transparansi pendanaan dan pengawasan publik yang kuat.
Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi substantif, bukan hanya procedural dan mobilitatif. Menurut Carole Pateman, partisipasi aktif rakyat adalah inti dari demokrasi partisipatoris. Namun, di Indonesia, rakyat sering hanya menjadi peserta pasif (obyek) dalam pemilu tanpa akses pengaruh pada kebijakan. Perubahan struktural, seperti penguatan pendidikan politik, desentralisasi kebijakan, seta taat azaz formal dan etic menjadi solusi untuk meningkatkan keterlibatan rakyat.
Ketaatan hukum, baik hukum formal maupun etic adalah pilar utama demokrasi yang berkeadilan. Di negara maju seperti Kanada, demokrasi didukung oleh institusi hukum independen yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Di Indonesia, lemahnya supremasi hukum memungkinkan korupsi dan nepotisme, menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi. Bahkan, permainan pasal karet dalam memutuskan hukum menjadi pemandangan “lumrah”.
Fenomena oligarki di Indonesia diperparah oleh eksploitasi sumber daya alam. Menurut teori ketergantungan, negara berkembang sering terjebak dalam eksploitasi oleh segelintir elite untuk keuntungan jangka pendek. Di Indonesia, sumber daya alam seperti tambang dikelola untuk kepentingan politik, bukan kesejahteraan rakyat. Kasus di Venezuela harusnya cukup menjadi pelajaran, korupsi dalam pengelolaan minyak menghancurkan ekonomi negara.
Kita membutuhkan transformasi menuju bentuk demokrasi Pancasila subtantif. Perlu adanya kesadaran bagi penegakan hukum, reformasi partai, dan pemberdayaan rakyat. Inspirasi dapat diambil dari negara seperti Swedia, yang mengutamakan transparansi dan keadilan sosial. Partisipasi rakyat harus ditingkatkan melalui pendidikan politik, penguatan dan penyadaran masyarakat sipil. Sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen, demokrasi adalah alat pemberdayaan, bukan sekadar proses formal, apalagi untuk mencapai tujuan individual atau kelompok tertentu. Cak Nur