teradesa.com. Perjalanan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Setidaknya ada tiga model demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan 1945 sampai sekarang. Tiga model ini berkaitan langsung dengan periode kepemimpinan Presiden. Pertama, pada periode orde lama, Indonesia pernah menjalankan model demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin diterapkan oleh Presiden Ir. Soekarno pada sebagian periodenya, yaitu pada kurun tahun 1959-1965. Demokrasi ini merupakan sistem politik yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden.

Hal ini berawal dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dalam sistem ini, peran lembaga legislatif melemah, sementara Soekarno memegang kendali sebagai “pemimpin besar revolusi”. Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan kedekatan pemerintah dengan militer dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, sistem ini dianggap otoriter dan berakhir dengan peristiwa G30S pada 1965.

Kedua, demokrasi otoriter mutlak pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru. Demokrasi ini ditandai adanya  kontrol ketat terhadap kebebasan politik dan pengekangan oposisi. Meskipun rezim ini menyebut dirinya sebagai demokrasi, kekuasaan pusat sangat dominan, dengan pengekangan terhadap hak-hak sipil, misalnya pemaksaan asas tunggal di tahun 1985an, dan mengembalikan kegiatan mahasiswa hanya di kampus (barak).

Soeharto memanfaatkan kekuatan militer untuk menekan lawan politik dan mengendalikan media massa, misalnya hanya ada TVRI dan radio RRI. Pemilu dilaksanakan, namun hasilnya selalu mendukung rezim karena adanya manipulasi dan intimidasi. Dominasi Golkar dalam pemerintahan memperkuat karakter otoriter, mengaburkan batas antara Negara dan partai berkuasa. Ini menciptakan stabilitas politik semu, namun merusak demokrasi sejati.

Ketiga, demokrasi elitis. Pada era Reformasi, demokrasi elitis berkembang, di mana kekuasaan dikuasai oleh tiga kelompok besar, yaitu: pemilik modal, tokoh karismatik, dan pejabat. Pemilik modal memiliki pengaruh kuat melalui finansial, menentukan arah kebijakan ekonomi. Kerjasama antara kaum kartel dengan elit parpol dan pemerintah menyebabkan demokrasi mandeg. Kebijakan pemerintah lebih banyak menguntungkan elit, baik secara finansial maupun politis.

Sementara, tokoh karismatik, baik dari kalangan elite politik maupun elit agama dimanfaatkan untuk menggalang dukungan massa hanya pada saat kontestasi pemilu dan pilkada. Sering, suara rakyat tergadaikan oleh kepentingan elit-karismatik. Kuatnya budaya feodal dan legitimasi “kepatuhan pada tokoh agama” menyebabkan demokrasi tidak dapat dijalankan secara ideal.

Pejabat memegang kendali dalam birokrasi dan legislatif, memperkuat dominasi mereka. Demokrasi ini cenderung meminggirkan rakyat biasa, karena keputusan-keputusan politik lebih menguntungkan elite dan kaum kartel. Potensi sumber daya alam ramai-ramai dibagi-bagi secara liar. Ketimpangan kekuasaan mengurangi partisipasi publik yang sejati dalam proses demokrasi. Beberapa kasus tambang, penyerobotan tanah adat, tanah rakyat menjadi bukti kuat.

Demokrasi sejati hakikatnya adalah menisbikan kemutalakan personal; karismatik, kekuasaan dan kepimilikan modal. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap individu, meskipun memiliki kekuatan, tetap rentan terhadap kelemahan dan kesalahan. Oleh karena itu, pengelolaan kekuasaan haruslah melibatkan partisipasi yang adil dari seluruh elemen masyarakat, demi menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Selama ini pengelolaan Negara, kesannya hanya diatur oleh pejabat, kartel dan elit parpol/tokoh.

Dampak dari elitisasi ini, kemudian berkembang asumsi bahwa kesalahan (sengaja atau tidak disengaja) dalam pengelolaan Negara bersifat personal-elitis. Korupsi misalnya banyak terjadi karena masih adanya anggapan sebagai kasus personal, tidak terkait langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan publik. Pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat hanyalah sebatas moral, yang mudah dilupakan, terutama adanya framing media.

Selain itu, seharusnya kontrol kekuasaan yang dijalankan secara transparan dan akuntabel merupakan inti demokrasi. Lembaga hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK harusnya menjadi lembaga solid. Tidak ada individu yang sempurna, karena semua  person individu dan/atau lembaga nisbi. Hal ini untuk memastikan mekanisme checks and balances berjalan sesuai ide dasar demokrasi, yang merupakan prinsip dasar demokrasi itu sendiri.

Hanya dengan pengawasan kolektif yang adil, kekuasaan dapat dikelola tanpa penyalahgunaan, sehingga kepentingan bersama tetap terjaga. Namun, demikian sampai sekarang-pun, secara historis sejak jaman nomaden, kerajaan dan Negara modern, demokrasi hanyalah sebatas ide normatif yang tidak dapat diimplementasikan secara sempurna. Sampai kapan? Tidak ada yang dapat menjawab secara mutlak. Karena sejatinya setiap individu itu serakah! Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top