teradesa.com. Usai sudah perhelatan demokrasi Nasional. Para penyelenggaran telah bekerja secara profesional, dan semoga berintegritas, tidak ada masalah yang berkepanjangan sehingga sampai mengganggu stabilitas Nasional. Juga, kita patut bererimakasih kepada masyarakat yang telah berpartisipasi, kemungkinan secara nasional Tingkat partisipasinya dikisaran 77-82%. Tentu, angka partisipasi ini menunjukkan bahwa terdapat kesadaran untuk membangun Indonesia yang lebih baik dalam berdemokrasi.
Setidaknya terdapat dua hal yang perlu kita refleksikan. Pertama, kualitas partisipasi masyarakat. Secara kuatitatif, angka partisipasi masyarakat dalam pemilu/pemilukada sejak orde baru sampai sekarang di kisaran 75-80an%. Dan, nyaris tidak ditemui gesekan masalah pada tataran akar rumput. Kalaupun ada masalah pasca pemilihan, hanyalah pada tataran kalangan kontestan. Maknanya adalah masyarakat sejatinya sudah dewasa dalam berdemokrasi.
Kedewasaan berdemokrasi ini dapat dimaknai terdapat partisipasi yang tinggi dalam pemilihan. Tetapi, juga dapat dimaknai memilih adalah hak dan kewajiban bagi masyarakat. Persoalan siapa yang terpilih bukan lagi urusan masyarakat, namun urusan masing-masing kontestan partai atau individu. Apabila terjadi masalah, masyarakat cukup bersikap acuh, tidak terbawa arus emosi sehingga mengganggu keseharian.
Memilih adalah aktualisasi dari hak inhern setiap individu. Entah itu didorong oleh kesadaran internal masing-masing individu ataupun adanya “mobilisasi” kontestan partai atau individu, yang bersifat eksternal. Kita belum melihat bahwa memilih karena adanya kesadaran dari “kewajiban” sebagai warga negara. Artinya bahwa tingkat partisipasi dalam pemilihan selama ini masih disebabkan adanya mobilisasi pihak eksternal.
Pada era orde baru, misalnya. Mobilisasi suara rakyat sangat jelas, para aparat negara dan keluarganya “diwajibkan” untuk memilih partai tertentu. Bahkan mobilisasi oleh aparat pusat sampai tingkat desa sangat mudah dilihat. Sementara, di era reformasi, hanya pemilihan tahun 1999 saja yang mungkin dianggap terdapat kesadaran murni dari masyarakat dalam memilih, tetapi sejak 2014 sampai sekarang terjadi “fenomena mobilisasi uang”.
Kedua, demoralisasi demokrasi. Secara umum, konsep ini merujuk pada sikap face to face antar dua atau beberapa kelompok sehingga menciderai ide pokok tujuan moral demokrasi, misalnya sikap sektarianis dalam setiap moment pemilihan. Tetapi, tidak hanya itu, penulis melihatnya. Justru, ancaman besar terhadap demokrasi bangsa adalah fenomena money politik dalam setiap pemilihan, inilah yang juga termasuk demoralisasi demokrasi.
Dampak demoralisasi demokrasi jenis ini sangat luas dan bersifat trapying bangsa pada lobang kemiskinan. Dalam logika manusia bahwa tidak ada seseorang yang ingin rugi. Mereka selalu menginginkan benefit, baik material, follower, maupun ketenaran (menjadi public figure). Oleh karenanya, seseorang yang terpilih menjadi pejabat dengan cara memberikan uang kepada pemilih, pada saat ada kesempatan pasti ia akan menjadi “buldoser”.
Tidak mungkin cukup mengembalikan nominal modal awal yang “dibakar” saat pemilihan, dia pasti mencari lebih banyak dari modal awal. Caranya hanyalah satu, menyunat anggaran pembangunan. Kebiasaan korupsi pada kalangan pejabat didefinisikan sebagai hal yang wajar. Pada puncaknya, lagi-lagi masyarakat-lah yang dirugikan, karena tidak banyak mendapatkan manfaat dari bernegara. Faktanya sejak kemerdekaan kita belum pernah mempunyai pemimpin yang negawaran tulen.
Bangsa ini sejatinya masih kategori bangsa yang miskin. Indikator diantaranya adalah sekitar lebih 70% anggaran di semua lembaga/instansi habis untuk operasional. Kurang dari 30% untuk program dan pembangunan. Nah, yang 30% itulah yang dipotong selain pajak, juga dikorupsi. Taruhlah sisanya 20%, itupun kebanyakan untuk pembangunan fisik/infrastruktur. Untuk program kesejahteraan rakyat pasti tidak kebagian.
Kurangnya anggaran yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, misalnya bidang pendidikan, dan kesehatan maka sulit bagi seseorang/bangsa ini untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri untuk pendidikan dan kesehatannya. BPJS kesehatan itu sejatinya tidak gratis, walaupun kualitas pelayanannya di rumah sakit (RS) disetarakan dengan gratis. Pendidikan tidak ada yang gratis, tidak seperti negara-negara lainnya, karena memang negara ini miskin. Cak Nur