teradesa.com. Persisnya lupa, tahun 2003-2004 saya mengikuti seminar di hotel Tanjung Tulungagung, tentang ekowisata. Narasumber menyampaikan pentingnya membangun jalur lintas selatan (JLS) yang menghubungkan destinasi wisata pantai, mulai dari Bali, Banyuwangi, Lumajang, Malang, Blitar, Trenggalek, Pacitan, Yogyakarta. Sehingga wisatawan lokal atau asing dapat menikmati beragam pantai. Ibaratnya sekali dayung tiga atau lebih pulau terlampaui.
Setidaknya itu konsep ekowisata yang masih saya ingat. Sekarang saya mencoba baca-baca konsep ekowisata ternyata tidak demikian. Bukan faktor insfrastruktur yang diutamakan, tetapi sebaliknya. Ekowisata adalah kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan dengan tujuan menjaga kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Entah, kebetulan atau sengaja seminar tersebut dilakukan di Tulungagung untuk mendukung program pembangunan JLS.
Berdasarkan tahun, ada kesesuaian. JLS diinisiasi oleh Presiden SBY pada tahun 2004 dan diteruskan oleh Presiden Jokowi. Dan, sampai sekarang-pun belum rampung. Tidak perlu bicara anggaran, karena pasti triliyunan. Diawal, memang pemerintah disokong oleh para teknokrat kampus untuk desiminasi mega proyek ini. Tujuannya adalah modernisasi wilayah bagian selatan Jawa yang berdasarkan data BPS Propinsi Jawa Timur 2012 (pada waktu itu), pendapatan perkapita (PKK) wilayah selatan jawa jauh lebih rendah jika dibandingkan PKK wilayah utara jawa.
Kebanyakan modernisasi yang dibangun oleh pihak luar masyarakat, misalnya penguasa lebih memilih membangun infrasruktur, dengan membuat wacana urgensinya suatu pembangunan tersebut. Inilah model formasi diskursif yang dibentuk oleh rezim pembangunan untuk membuka kesediaan masyarakat dalam upaya menyukseskan pembangunan, JLS misalnya. Masalahnya adalah ketika Negara sedang tidak cukup anggaran, kemampuan mengelola isu, maka kemudian mengakumulasi “bala pasukan” yang dikenal dengan state apparatus ideology (SAI).
Dalam konteks ini, contohnya yang masih hangat adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Rezim dan semua buzzer-nya dikerahkan untuk memblow up urgensinya pembangunan IKN dengan beragam alasan yang kadang tidak nyambung dengan nulur (eh nalar). Begitulah, program rezim penguasa biasanya selalu sefrekewensi dengan tujuan personal pemimpinnya. Mungkin model ini dapat disebut sebagai veiled corruption. Terutama jika terdapat indikasi adanya SAI, sebagaimana diteorikan oleh Colin Barker.
SAI, janganlah dipahami sebagai sekumpulan pegawai pemerintah dan pasukan keamanan yang berseragam lengkap dengan alat perang, sebagaimana dipraktikkan pada rezim yang represif orde baru. Tetapi, SAI saat ini yang tepat adalah siapapun, lembaga, akademisi, atau kumpulan masyarakat sipil yang ikut mengusung suatu gagasan “pembangunan” tertentu, dan mewacanakannya secara intensif dalam pergaulan sosial sehingga membentuk “kesadaran” tertentu di masyarakat.
Baik, imajinasi kemakmuran yang diharapan pemerintah dari pembangunan JLS adalah terbukanya destinasi wisata baru, penyebaran dan pemerataan tempat tinggal penduduk, membuka kemudahan akses produksi masyarakat. Ujung-ujungnya adalah perubahan budaya, pendidikan dan perekonomian masyarakat setempat. Hal ini, memang tidak dapat dipungkiri secara kasat mata, iya. Tetapi, apakah hasil pembangunan demikian ini juga berdampak pada kelestarian budaya masyarakat dan tumbuhnya ekonomi secara berkeadilan?
Biasanya dalam setiap pembangunan, reasoning yang dipakai adalah pertumbuhan ekonomi didasarkan pada penghitungan PKK. Masalahnya; PKK tidak mencerminkan distribusi kekayaan dalam masyarakat (Piketty, 2014). Ukuran ini tidak memperhitungkan aspek kesejahteraan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup, yang juga merupakan indikator penting dalam pembangunan manusia (Sen, 1999). PKK mengabaikan faktor lingkungan dan keberlanjutan, sehingga negara dengan eksploitasi sumber daya tinggi bisa tampak lebih maju secara ekonomi (Stiglitz et al., 2009).
Nah, ini pintu masuk untuk membuat pertanyaan mendasar. Mengapa JLS dibangun? Apakah hanya untuk kepentingan ekowisata, yang menghubungkan kesatuan destinasi wisata pantai selatan di sepanjang pulau jawa? Gal ah, terlalu kecil. Apalagi juga akan dibangun jalan tol Tulungagung-Malang. Dan, jalan lingkar wilis, yang akan menghubungkan antara Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Madiun dan Ponorogo. Ini menarik!
Pemerintah tidak akan berani spekulasi membiayai pembangunan insfrastruktur ini murni dari APBN. Di atas, penulis mengajukan konsep state apparatus ideology (SAI). Dalam konsep ini termasuk kemungkinan memobilisasi anggarakan dari pihak ketiga (swasta/negara) dengan kompensasi tertentu. Sudah menjadi rahasia umum jika dalam suatu investasi asing terdapat “makelar”, termasuk pejabatnya.
Di wilayah selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang dan Banyuwangi terdapat potensi tambang yang cukup melimpah, diantaranya emas, pasir besi, nikel, mineral logam, mineral rare earth dan bentonit, dan lain-lain. Potensi tambang ini belum terjamah sama sekali, hanya pasir besi di pantai Dlodoh dan pantai Pasur yang pernah ditambang, tetapi dihentikan karena ada kebijakan hilirisasi. Cak Nur