teradesa.com. Senang dan tenang merupakan dua tujuan utama kebanyakan kehidupan seseorang individu. Dalam perspektif sufistik, kesenangan sering dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan fisik atau lahiriyah, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sebaliknya, ketenangan melibatkan dimensi batiniah, yang berakar pada hubungan spiritual dengan Allah swt. Kedua hal ini memiliki dinamika unik dalam setiap kehidupan seseorang.
Pemenuhan kebutuhan lahiriyah adalah fitrah manusia, tentu kebanyakan orang berfikir demikian. Dalam pandangan sufisme, kesenangan ini bersifat sementara dan rentan berubah (dinamis). Pemenuhan materi sering memunculkan perasaan puas, tetapi jarang menciptakan ketenangan sejati. Oleh karena itu, para sufi menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan lahiriyah dan kebahagiaan spiritual.
Ketenangan muncul dari pemenuhan kebutuhan spiritual atau dhohiriyah. Dalam pandangan spiritualis bahwa ketenangan batin dianggap sebagai pencapaian tertinggi manusia, yang tentu harus diperjuangkan. Hal ini dicapai melalui proses mendekatkan diri kepada Allah swt, membersihkan hati dari penyakit seperti iri dan dengki, serta menjalani hidup dengan ikhlas. Ini, tentu, melampaui batas-batas kesenangan fisik ansich.
Terpenuhinya kebutuhan lahiriyah tidak selalu membawa langsung maupun tidak langsung terhadap ketenangan batin, tetapi semua orang selalu mengupayakan terpenuhinya. Dan, sebaliknya, pemenuhan kebutuhan spiritual sering berdampak positif pada aspek lahiriyah. Seorang yang tenang secara batin cenderung lebih bijak mengelola kebutuhan materi. Dalam pengalaman spiritual-sufistik, ketenangan batin dapat menciptakan rasa cukup (qana’ah). Inilah, rahasianya ketenangan dapat menyebabkan kesenangan, dan tidak sebaliknya.
Para sufi tidak menolak kesenangan duniawi, tetapi mereka melihatnya sebagai ujian. Al-Ghazali, misalnya, menyatakan bahwa kesenangan dunia harus digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Pemenuhan kebutuhan material-lahiriyah merupakan instrument untuk terwujudnya ketenangan bathin-spiritual. Karena sesungguhnya ketergantungan pada materi yang berlebihan akan dapat menjerumuskan manusia dalam keserakahan, dan bahkan menjauhkan mereka dari ketenangan yang hakiki.
Dalam sufisme, perjalanan menuju ketenangan dimulai dengan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs). Proses ini melibatkan penyerahan diri kepada Allah swt dan meninggalkan ego. Biasanya memasuki maqam pengosongan (takholli), meniadakan hal-hal yang bersifat lahiriyah-duniawiyah material. Ketika seseorang berhasil melepaskan dirinya dari dunia semua material, maka dengan sendirinya ketenangan sejati dapat diraih.
Pada maqam berikutnya adalah mujahadah, bisa dengan cara berdzikir, berpuasa, dan kontemplasi adalah sarana utama dalam mencapai ketenangan batin. Para sufi percaya bahwa mengingat Allah swt secara konsisten melalui dzikir dapat membuka pintu ketenangan (QS. ar-Ra’d: 28). Ibn Arabi menekankan bahwa ketenangan adalah hasil dari kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam setiap aspek kehidupan, karena pada hakikatnya Allah swt adalah maha hadir (omni present).
Ketenangan batin yang sudah diraih oleh spiritualis biasanya selalu akan berdampak langsung maupun tidak langsung pada kehidupan lahiriyah seseorang. Seseorang yang tenang secara spiritual lebih mampu menghadapi masalah duniawi tanpa kecemasan yang berlebihan. Mereka dapat mengelola sumber daya secara bijaksana dan menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Hal ini menunjukkan terdapat harmonisasi antara aspek lahiriyah dan dhohiriyah.
Kesempurnaan hidup dalam sufisme terletak pada kemampuan seseorang dalam mengintegrasikan kesenangan dan ketenangan. Pemenuhan kebutuhan lahiriyah sebaiknya menjadi sarana, bukan tujuan untuk meraih ketengan jiwa-spiritualnya. Sehingga keseimbangan pencapaian antara keduanya memungkinkan baginya dapat menjalani kehidupan yang utuh, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Iangat bahwa tujuan akhir dari hakikat kehidupan ini, sebagaimana diyakini oleh kaum sufistik adalah untuk mencapai kesadaran Ilahi (ma’rifah). Kesadaran ini mencakup pemahaman bahwa segala sesuatu berasal dari Allah swt dan akan kembali kepada-Nya. Dalam kondisi ini, manusia tidak lagi terikat pada kesenangan duniawi, tetapi teraikat untuk selalu berusaha hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan sejati. Cak Nur