Etnorelativitas

teradesa.com. Jumlah penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa. Terdiri dari 300 suku dengan menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka menganut agama dan kepercayaan yang sangat berfariasi, seperti; Islam, Hindu, Budha, Krosten, Katholik, Konghucu dan berbagai macam aliran kepercayaan. Organisasi keagamaan, kemasyarakatan, kepemudaan, kemahasiswaan, profesi, politik dan lain sebagainya. Tidak jauh dari Eropa, keragaman demikian berpotensi dapat menimbulkan berbagai macam persoalan kemasyarakatan.

Perkembangan teknologi digital komunikasi dan informasi mempermudah timbulnya beragam permasalahan dimaksud. Seperti di hutan belantara, jika seseorang tidak kritis, reflektif dan selektif dalam menerima dan memforward berita-berita yang masuk kedalam layar gadgetnya, maka dapat mudah memperkeruh permasalahan umat dan bangsa. Jika dicermati lebih mendalam bahwa setiap kegaduhan di dunia maya, ia sesungguhnya mencerminkan fakta yang dipikirkan, dipola, dan disikapi oleh sebagian besar masyarakat. Semua permasalahan itu juga selalu simultaneously dengan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Misalnya tentang kasus penganiayaan terhadap korban David. Sebenarnya ini adalah kasus kriminal an-sich. Tetapi kemudian ini dapat berkembang ke arah institusi, lembaga, privacy, bahkan terbawa ke bidang politik. Budaya keterbukaan yang telah berkembang di masyarakat Indonesia tampaknya memperkeruh dan mensalingpautkan antara gejala satu dengan gejala-gejala lainnya. Termasuk ditambah dengan teknologi digital komunikasi dan informasi yang semakin modern. Kasus-kasus yang sebetulnya kecil dan locally sourced tumbuh berkembang menjadi besar dan menasional.

Beberapa kasus lainnya juga memiliki pola kegaduhan yang hampir sama, dengan kasus di atas. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan netizen cenderung peduli, dan “merasa” memiliki responcibility yang sebetulnya bukan kewenangan dan ranahnya. Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah perspektif setiap individu dari tidak tahu menahu menjadi “merasa” sangat tahu dan paham terhadap setiap kasus yang terjadi di permukaan. Dalam konteks teori sosial, dalam setiap moment demikian masyarakat cenderung terpola kedalam pusaran out group dan in group.

Gejala demikian kemudian menunjukkan secara gamblang batas-batas antara kami dan kamu, aku dan dia. Saat ini, tidak ada media satu-pun yang mampu menetralisir kecenderungan gejala perpecahan, baik pada skala ringan/kecil, sedang, dan besar/kuat. Hanya, diperlukan kecerdasan setiap individu orang untuk bersikap reflektif, bijak dan selektif untuk menyebar-luaskan ke public terhadap berita-berita yang yang belum terkonfirmasi dan reasoned secara kuat dan clear.

Dalam sebuah Negara besar dan multicultural, seyogyanya setiap individu orang tidak perlu merasa memiliki kapasitas untuk nimbrung (ambil) peran dalam setiap gejala atau permasalahan yang mengemuka di dunia maya. Kasus hukum hendaknya berhenti di dunia hukum. Kasus politik berhenti di politik, dan sebagainyanya. Bahkan tidak perlu semua pejabat/mentri berkomentar yang tidak sesuai bidangnya. Begitu halnya dengan masyarakat umum, cukup setiap kasus dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri, keluarga, dan orang-orang terdekatnya. Ini, tidak berarti bersikap acuh, tetapi justru ini untuk kepentingan kedamaian bangsa secara umum.

Pada titik inilah, kita akan tersadarkan bahwa betapa kita semua perlu memiliki kesadaran etnorelativitas (etnorelativity counsciousness). Yakni sebuah pengetahuan, sikap, perilaku, pengalaman, dan penghayatan budaya kita masing-masing dalam konteks budaya-budaya lain yang berbeda. Setiap individu, kelompok, dan institusi tentu memiliki suatu budaya. Setiap budaya sejatinya adalah mengajarkan tentang kebaikan. Nah, kebaikan-kebaikan internal inilah hendaknya menjadi instrument kunci untuk meresonansi menjadi kebaikan yang lebih luas dan besar. Inilah kontribusi penting kita, untuk kebaikan dan keharmonisan budaya bangsa.

Internalisasi etnorelativitas kedalam kepribadian kita masing-masing dapat berkembang dengan baik hanya jika memiliki tiga hal. Pertama, sikap penerimaan (acceptence) terhadap anggota komunitas/masyarakat yang berbeda budaya. Tentu, dengan cara menghilangkan stigma terhadap orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan melakukan penyesuaian (adaptation) untuk tinggal bersama dengan orang-orang dengan budaya yang berbeda. Dan, ketiga, kesediaan melakukan perpaduan (integration) antara budaya diri dengan budaya lainnya, sehingga terwujud budaya baru yang lebih baik, maju, dan/atau modern. Cak Nur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top