teradesa.com. Istilah eudaimonia (kebahagiaan) pertama kali disampaikan oleh Aristoteles (384-322 SM). Kata ini penting, dan menarik didiskusikan kembali, karena hakikat tujuan hidup setiap individu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Setiap individu berikhtiar, dan setiap ikhtiarnya memiliki arah, tujuan antara, dan tujuan akhir. Adapun tujuan tertingginya menurut Aristoteles adalah kebaikan. Dan, kebaikan tertinggi itulah disebutnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tindakan jiwa yang selaras dengan keutamaan sepurna (psyche/jiwa yang rasional). Keutamaan manusia (arete) adalah keutamaan moral dan intelektual.

Manusia adalah makhluk yang sempurna (QS. at-Tiin: 04). Kesempurnaan manusia tidak hanya karena bentuk jasmaniahnya yang indah, tetapi juga karena ia memiliki potensi ruhaniyah. Kedua potensi ini memungkinkan ia mampu menyelaraskan kepentingan diri (individu) dengan kepentingan-kepentingan sosial dan alam semesta. Kemampuan menyelaraskan secara sempurna ketiga kepentingan inilah sebagai sumber kebahagiaan. Manusia tercipta oleh pancaran kasih sayang (cinta) Tuhan. Pancaran kasih sayang ini yang kemudian menjadi potensi yang dapat melahirkan kebahagiaan.

Beberapa teori tentang kebahagiaan sebelumnya lebih bersifat individual dan hedonis. Misalnya pandangan Seligman (2013) bahwa kebahagiaan diukur dari kepuasan hidup seseorang. Semakin tinggi tingkat kepuasan, maka tingkat kebahagiaan individu semakin tinggi. Kebahagiaan oleh karenanya bersifat subyektif. Begitu halnya dengan konsep well-being, yang hanya melihat kebahagiaan dari aspek kognitif dan afektif (Diener, 1985; 2000). Watson, Clarck, & Tellegen (1988) juga berusaha mengukur kebahagiaan yang berasal dari dalam diri individu berupa afek positif dan afek negatif yang diukur melalui PANAS scale.

Kebahagiaan dalam perkembangan mutakhir, selain mengarah pada ukuran hidonis, juga cakupannya lebih meluas—ke komunitas, negara, dan global. Misalnya, Lembaga survey yang dimotori oleh Helliwell, Layard, dan Sach (2017) dari University of British Columbia secara berkala telah mengukur kebahagiaan negara-negara di dunia dengan menggunakan tiga elemen kebahagiaan, yaitu; melalui evaluasi hidup (life evaluation), afek (affect), serta kepuasan hidup (eudaimonic).

Adrian White dari Universitas Leicester Inggris telah menerbitkan peta kebahagiaan dunia dengan menganalisis data-data yang diperolehnya dari UNESCO, WHO, UNHCR, dan CIA, dan juga melibatkan 80 ribu responden. Penelitian kebahagiaan ini mengaitkan dengan tingkat kesehatan, kemakmuran, dan pendidikan warga suatu negara. Dan, kesimpulan penelitian tersebut telah menempatkan Negara Denmark sebagai Negara terbahagia di dunia. Sementara, survey yang dilakukan oleh Sustainable Development Solutions Network (SDSN) menganalisis 185 negara yang berbahagia berdasarkan kriteria; kemampuan ekonomi rakyatnya, neuroscience, statistik kependudukan, serta gambaran tingkat kesejahteraan subjektif.

Orientasi dan/atau cara pandang menyebabkan perbedaan pemaknaan tentang kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; kebahagiaan jasmaniah dan ruhaniah. Kebahagiaan jasmaniah merupakan yang terendah dan bersifat sementara. Yang tertinggi adalah kebahagiaan ruhaniah (Ibnu Maskawaih, 1999). Sementara, al-Ghozali memaknai hakikat kebahagiaan hanya terletak pada jiwa (ruhani). Kebagiaan ini dapat dicapai hanya jika seorang individu mampu mengenali diri, Tuhan, dunia, dan akhirat. Ia menekankan kemampuan mengenai Tuhan (ma’rifatullah) adalah kebahagiaan yang hakiki.

Potensi ruhaniah dan jasmaniah manusia bersifat reciprocal-negatif. Keduanya memiliki hubungan timbal balik yang tidak selaras. Kebahagiaan ruhaniyah dapat menyebabkan kebahagiaan jasmaniyah. Tetapi, kebahagiaan jasmaniyah tidak serta merta menyebabkan kebahagiaan ruhaniyah. Kemampuan seorang individu menguasai ruhaniyahnya untuk mengendalikan liarnya keinginan (need) jasmaniyah sangat memungkinkan baginya merasakan hakikat kebahagiaan (kepuasan). Kebahagiaan didapatkan seseorang jika ia telah mampu mengendalikan potensi jasmaniyah dengan mengoptimalkan potensi ruhaniyahnya. Dengan demikian, potensi ruhaniyah adalah instrument utama dalam meraih kebahagiaan.

Potensi ruhaniyah itulah yang kemudian mengarahkan pengetahuan, sikap, dan tindakan seorang individu untuk mampu menyelaraskan keinginan individual dengan keinginan-keinginan sosial dan alam semesta. Ketiga keinginan ini harus ditempatkan secara seimbang. Kemampuan menyeimbangkan ketiganya itulah yang merupakan inti keutamaan moral dan intelektual. Sehingga seorang individu selalu berusaha menjadikan dirinya bermanfaat, tidak saja bagi diri dan keluarganya, tetapi lebih luas dari itu adalah bermanfaat bagi masyarakat dan alam semesta. Itulah hakikat keberadaan manusia di dunia, menjadi subyek utama pengelola dunia, bukan sebaliknya mereduksi diri kedalam kepentingan dunia. #Nur Kholis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top