Filosofi Islam Normatif sebagai Pendekatan dalam Studi Keislaman

teradesa.com. Materi kali ini tentang Islam normatif. Kajian Islam normatif dijelaskan secara filosofi. Oleh karenanya, uraian disistematikasikan kedalam sub-uraian berikut; pendahuluan, ontologi Islam normatif, epistimologi Islam normatif, aksiologi Islam normatif, dan penutup. Oh ya, ingat dibagian akhir uraiannya ada tugas yang harus kalian kerjakan (cukup menjadi 3 paragraf saja).

Pendahuluan

Tema tentang Islam normatif dapat dijelaskan secara filosofis. Kajian filsafat terhadap suatu pokok bahasan biasanya dilakukan pada tiga aspek, yaitu; ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga aspek dalam filsafat ini akan memudahkan bagi kita untuk memahami secara detail dan mendalam tentang sesuatu (being). Apapun, yang abstrak pada dasarkan dapat dijadikan sebagai obyek kajian filsafat. Nah, kali ini kita mendiskusikan tentang “islam normatif”, sebagai being.

Kajian hakikat sesuatu (being) dapat dilakun dari berbagai persepktif, atau sudut pandang. Karena pada hakikatnya sesuatu (being) itu tidak bersifat atau berbentuk tunggal, inilah yang disebut kajian pada tataran onotologi. Setiap sesuatu (being) dapat dikaji, ditelaah, dan diteliti dengan menggunakan beragam pendekatan, metode, dan teknik untuk mengusut, mendeskripsikan, dan menjelaskan sesuatu (being) itu. Dan, juga menghasilkan pengetahuan, inilah yang dikategorikan sebagai kajian pada tataran epistimologi. Sedangkan, kajian pada aspek dampak (positif dan/atau negatif) dari setiap sesuatu (being) dijelaskan sebagai tataran aksiologi.

Ontologi Islam Normatif

Ini berkaitan dengan cara pandang (paradigm) kita terhadap Islam. Juga, untuk memudahkan pemetaan dan analisis terhadap fenomena-fenomena agama dan keberagamaan yang berkembang di masyarakat. Islam normatif merupakan cara pandang masyarakat terhadap Islam. Cara pandang dapat dipraktekkan untuk memahami fenomena atau problem akademik dan kemasyarakatan. Kajian/penelitian yang didasarkan pada problem akademik dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Sedangkan, kajian yang didasarkan pada fenomena/problem sosial dapat menghasilkan discoursus. Discoursus dan kajian/penelitian akademik selalu bersifat timbal balik (resiprocal).

Secara etimologi, Islam dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt. Sedangkan, normatif berasal dari kata bahasa inggris, norm. Dalam kamus bahasa Indonesia, normatif adalah berpegang teguh pada norma; menurut norma atau kaidah yang berlaku. Kedua kata, Islam dan normatif kemudian dijadikan satu sebagai satu kesatuan makna sebagai model atau cara pandang terhadap fenomena agama Islam.

Secara terminologi, Islam normatif adalah cara pandang bahwa Islam adalah mengajarkan norma-norma dan nilai bagi umat Islam untuk ditaati dan dilaksanakan dalam kehidupan kesehariannya sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Al-Qur’an dan al-Hadis adalah pedoman yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Paradigma Islam normatif mengajarkan bahwa semua fenomena dan problem keumatan, kemanusiaan, sosial, dan kebangsaan yang berkembang pada ranah sosial (masyarakat) selalu dikembalikan atau dicarikan jawabannya kepada pedoman utama umat Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Cara pandang demikian didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bahwa al-Qur’an dan al-Hadis adalah pedoman yang sudah lengkap, melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Al-Qur’an dan al-Hadis adalah pedoman umat islam yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai dasar dan pedoman dalam beragama Islam. Nabi saw, pernah berwasiat kepada umatnya tentang pentingnya menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pedoman hidup. “Aku tinggalkan kepada kamu (umatku) dua perkara. Jika kamu berpegang teguh kepada keduanya maka niscaya kamu tidak akan tersesat untuk selama-selamanya. (Dua perkara itu adalah) al-Qur’an dan al-Hadis,” (HR Muslim).

Hadis ini dapat dijadikan hujjah bahwa al-Qur’an dan al-Hadis adalah manuskrip peninggalan Nabi saw yang sudah lengkap, mengatur, dan dapat dijadikan sebagai pedoman umat Islam dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Semua problem dan fenomena kehidupan kebangsaan dan keumatan dapat dikembalikan kepada keduanya untuk dicarikan penyeleseian dan/atau penjelasannya. Kebenaran al-Qur’an dan al-Hadis tidak dibatasi oleh waktu, ia berlaku dan selalu sesuai kapanpun. Kebenaran keduanya juga berlaku dan sesuai di negara/tempat manapun. Kebenaran al-Qur’an dan al-Hadis adalah bersifat mutlak dan menyeluruh.

Pemahaman dan keyakinan demikian dapat diimplementasikan pada dua tataran, yaitu; tataran pengembangan keilmuan, dan tataran respon terhadap fenomena dan problem sosial kebangsaan dan keumatan. Pertama, pada tataran pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dan al-Hadis ditempatkan sebagai sumber pengembangan hipotesis. Hipotesis adalah kebenaran teoritik. Berdasarkan hipotesis itulah penelitian dapat dilakukan sehingga menemukan jawaban atau teori. Kedua, tataran respon sosial. Semua fenomena dan problem sosial (keumatan dan kebangsaan) dikembalikan pada hujjah al-Qur’an dan al-Hadis. Model ini dapat disebut sebagai tekstual dan/atau scripturalis.

Epistimologi Islam Normatif

Kajian, penelaahan, dan penelitian terhadap al-Qur’an dan al-Hadis dapat dilakukan secara sistematis, tematik, dan mujmal (global). Kegiatan-kegiatan demikian telah dilakukan oleh para ulama-ulama terdahulu. Mereka telah memberikan teladan yang baik bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak hanya sebatas dijadikan sebagai bacaan. Meskipun, memang dalam ajaran Islam bahwa membaca al-Qur’an tercatat sebagai ibadah (mendapatkan pahala), tetapi juga ditelaah secara seksama dan ditindaklanjuti dalam suatu kegiatan penelitian ilmiah.

Kegiatan kajian, penelaahan, dan penelitian yang dilakukan oleh para ulama terdahulu menghasilkan model baru tentang metodologi kajian manuskrip (al-Qur’an dan la-Hadis). Metodologi kajian literer, kajian pustaka, library reserach sebagiannya adalah yang diwariskan oleh ulama salaf. Model penelitian yang dihasilkan memberikan jalan baru bahwa untuk menghasilkan ilmu pengetahuan agama (ilmu-ilmu agama) adalah dihasilkan dari penelitian, penelaahan, dan kajian mendalam.

Sekarang, metode penelitian pustaka (library research) telah diakui dalam ilmu penelitian sebagai bagian dari metode penelitian ilmiah. Metode penelitian ilmiah dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu; penelitian pustaka (library research), penelitian lapangan (field research), dan penelitian eksperimen (ini, biasanya digunakan untuk ilmu eksak). Penelitian lapangan dibedakan menjadi dua, yaitu; penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Dengan demikian, penelitian pustaka (library research) dapat dilakukan untuk mengkaji dan meneliti al-Qur’an, al-Hadis dan naskah-naskah (manuskrip) lainnya yang relevan dengan obyek kajiannya.

Pentingnya umat Islam menguasai ilmu penelitian telah digambar secara gamblang dalam kisahnya Zulkarnain (QS. al-kahfi/18: 83-99). Zulkarnain telah diberi kelebihan, kemampuan, dan kedudukan yang tinggi di bumi. Ia mengusai belahan dunia timur dan belahan dunia barat (QS. al-Kahfi/18: 84). Ia menjadi peletak dasar peradaban di timur dan di barat berkat kemampuannya melakukan penelitian, menempuh suatu jalan (QS. al-Kahfi/18: 85). Dengan demikian, jika umat Islam hendak menguasai peradaban barat dan timur, maka pengetahuan teori, skill, dan budaya penelitian merupakan suatu keniscayaan (keharusan).

Penelitian yang dikembangkan umat Islam dapat menggunakan ilmu pengetahuan penelitian yang berkembang saat ini, yaitu penelitian yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan ilmiah (scientific). Karena, pada dasarnya scientific inilah yang akan berguna untuk menjelaskan, dan memprediksi fenomena dan/atau problem sosial dan alam semesta. Selain juga, dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Ilmu pengetahuan ilmiah dan teknologi inilah yang bermanfaat bagi manusia untuk memikul tugasnya, sebagai pemakmur bumi (QS. Hud/11: 61).

Aksiologi Islam Normatif

Terdapat dua kategori aksiologi Islam normatif. Keduanya bersumber dari epistimologi dalam memahami dan memaknai Islam normatif. Penelaahan, dan kajian yang dimaksudkan untuk merespon fenomena dan problem sosial dapat dilakukan melalui cara pandang (paradigma) tekstual. Sedangkan, penelaahan, kajian, dan penelitian secara ilmiah (library research) dapat melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan agama (ilmu-ilmu keagamaan). Kedua aksiologi ini selanjutnya penulis jelaskan agak lebih detail, mulai aspek bentuk-bentuk dan dampaknya bagi umat dan bangsa (baik positif maupun negatif).

Pertama, kajian & penelaahan teks. Al-Qur’an dan al-Hadis adalah sumber utama ilmu agama islam. Kajian dan penelaahan terhadap keduanya diperlukan untuk memahami dan menyeleseikan fenomena dan problem agama. Keduanya, juga mengajarkan tentang norma-norma, dan nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar bagi umat islam untuk menjadi insan kamil. Karena pada hakikatnya diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan atau memperbaiki akhlak manusia. Akhlak manusia meliputi; akhlak manusia terhadap Tuhan, akhlak manusia terhadap sesama manusia, dan akhlak manusia terhadap alam semesta.

Al-Qur’an dan al-Hadis adalah sumber pengetahuan dan ilmu islam yang kebenarannya bersifat mutlak. Hal ini tidak saja karena keyakinan semata, tetapi juga sudah teruji secara akademik. Berbagai kajian dan penelitian memberikan legitimasi bahwa al-Qur’an tidak saja hanya berisi norma, dan nilai bagi umat islam. Tetapi juga berisikan ilmu pengetahuan yang dapat menjelaskan fenomena alam jagad raya, misalnya tentang awal kejadian alam jagad raya (QS. al-anbiya/21: 30).

Keyakinan terhadap kebenaran al-Qur’an dan al-Hadis kadang menjadikan sebagian dari umat Islam selalu mengembalikan semua problem yang dihadapi kepada keduanya. Memang hal ini tidak salah, tetapi kurang mempertimbangkan faktor kontekstual hanya akan menjadikan hukum bersifat tekstual. Cara berfikir, dan bersikap tekstual dapat menyebabkan lahirnya pemahaman normatif, hitam-putih, dan keras terhadap yang pihak-pihak lain yang berbeda pandangan.

Pemahaman dan sikap tekstual ujung-ujungnya dapat melahirkan perilaku yang cenderung membenarkan diri (truth claim) dan menyalahkan pihak lain yang berbeda. Perbedaan pendapat antar golongan umat Islam, yang kadang menimbulkan konflik dapat ditelusuri dari aspek ini. Oleh karena itu, pemahaman dan kesadaran bahwa pemahaman tekstual tidak selalu dapat diterapkan pada setiap penyelseseian fenomena atau probelm sosial yang dihadapi merupakan suatu keniscayaan.

Pemahaman dan keyakinan Islam normatif yang kuat dapat melahirkan loyalitas dan hirroh dalam beragama. Keterikatan yang kuat semakin menambah ketaatan dalam beragama, memiliki sikap dan perilaku pembelaan yang kuat terhadap agama, seperti para sahabat dan tabi’it yang bersedia menjadi syahid. Mereka akan membela agama apabila ada upaya dari pihak lain memojokkan atau medeskriditkan agamanya. Bahkan, mereka akan rela atau mengikhlaskan harta, tenaga, dan nyawa sekalipun untuk agamanya.

Kedua, penelitian terhadap teks. Kegiatan kajian, penelaahan, dan penelitian sangat penting dibudayakan pada kalangan umat Islam. Budaya oral (ceramah dan mendengarkan) harus ditindaklanjuti dengan budaya meneliti (menulis dan membaca). Budaya yang berkembang di masyarakat masih mendegar dan ceramah. Padahal budaya ini tidak memiliki dampak jangka panjang dan memperbaiki peradaban. Ingat, kemajuan perdaban Islam di periode abad VII-an ke atas dan perdaban barat mulai abad XIII-an berkembang karena mereka membudayakan meneliti, menulis, dan membaca.

Mengkaji dan meneliti al-Qur’an dan al-Hadis tidak saja berfungsi sebagai ibadah dan menambah ilmu agama, tetapi juga dapat melahirkan ilmu-ilmu agama. Semua rumpun ilmu agama yang kita pelajari sekarang ini adalah hasil dari penelitian para ilmuwan (ulama) terdahulu terhadap al-Qur’an dan al-Hadis. Penelitian terhadap keduanya menghasilkan, misalnya; ilmu tafsir al-Qur’an, ulumul hadis, sejarah peradaban islam, fiqh, ushul fiqh, ilmu bahasa arab, dll.

Penutup

Islam normatif, dalam konteks ini dapat dipahami dari dua aspek. Pertama, sebagai obyek kajian, yakni memahami al-Qur’an dan al-Hadis sebagai obyek kajian, penelaahan, dan penelitian dalam studi keislaman. Kedua, sebagai paradigma. Cara pandang yang mengembalikan semua problem sosial/fenomena kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

Keduanya dapat diusahakan melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik dan non-akademik. Kegiatan-kegiatan akademik yang dapat dilakukan (epistimologi) diantaranya; kajian, penelaahan, dan penelitian secara sistematis, terencana, dan terukur sehingga menghasilkan teori, pengetahuan, dan ilmu-ilmu agama. Sedangkan, kegiatan non-akademik dapat dilakukan melalui pengajian rutin, ceramah agama, diskusi terbatas dan sebagainya. Kedua bentuk kegiatan tersebut membutuhkan publikasi agar dapat dipelajari oleh generasi berikutnya.

Kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik yang dikembangkan dan dilakukan oleh umat Islam dapat berdampak pada beberapa hal, diantaranya; melahirkan keyakinan, loyalitas, dan semangat menjadi muslim sejati, memiliki sikap dan perilaku bersedia membela agama, melahirkan dan mengembangkan teori-teori agama, ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu atau teori agama diperlukan untuk memperdalam penguasaan terhadap nilai-nilai dan norma-norma agama islam. #Nur Kholis