Guru dan Perubahan Sosial

teradesa.com. Setidaknya sepuluh tahun yang lalu, saya berkunjung ke sebuah desa terpencil di Blitar Selatan. Sekarang, ketika ke sana kembali, saya melihat terdapat perubahan yang signifikan. Terutama, pandangan masyarakat setempat tentang pentingnya pendidikan untuk perubahan sosial, bagi individu dan umumnya bagi masyarakat luas.

Perubahan demikian sesungguhnya bersifat multifactor, misalnya; guru sebagai katalisator perubahan mindset masyarakat tentang pendidikan, akses ke jenjang sekolah yang lebih tinggi cukup membaik, ekonomi orang tua yang lebih baik, beberapa anak yang sukses sebagai imigran dan urban, modernisasi transportasi, serta komunikasi.

Saya menyempatkan diskusi dengan beberapa guru, yang awalnya sebagai pendatang dan kemudian menetap di desa. Mereka menyampaikan bahwa tidak hanya mengajar. Lebih dari itu, mereka merubah mindset masyarakat dengan keteladanan dan ketelatenan, dan berkolaborasi dengan tokoh-tokoh setempat. Begitulah, guru telah bermetamorfosis menjadi agen perubahan sosial.

Menurut teori perubahan sosial Lewin (1951), bahwa perubahan terjadi melalui tiga tahap: unfreezing, moving, dan refreezing. Guru-guru yang aktif di desa menjalankan tahap-tahap ini, mengubah persepsi masyarakat tentang pendidikan sebagai investasi kesejahteraan jangka panjang bagi anak-anak mereka.

Pentingnya peran guru sebagai katalisator perubahan sosial juga diperkuat oleh teori modal sosial, Coleman (1988). Dalam konteks ini, guru yang menetap di desa membantu memperkuat jaringan sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan. Keberadaan guru-guru dengan memberikan contoh sukses anak-anaknya melalui pendidikan telah menginspirasi masyarakat untuk memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Mulford (2003) menggarisbawahi bahwa guru sebagai agent perubahan mampu mempengaruhi nilai-nilai sosial masyarakat, termasuk pandangan mereka tentang pendidikan. Ketika guru-guru di desa terpencil memberikan teladan kesuksesan, mereka memperlihatkan bahwa pendidikan adalah investasi yang berharga bagi masa depan anak-anaknya, sehingga orang tua mulai berpikir lebih serius untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Studi lainnya, dilakukan oleh Bray (2007) menunjukkan bahwa keterlibatan aktif guru dalam kehidupan masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan pada institusi pendidikan. Dengan menetap di desa, guru-guru tersebut tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga figur yang menunjukkan bahwa pendidikan dapat memperbaiki taraf hidup. Hal ini membuka perspektif baru masyarakat mengenai pentingnya pendidikan hingga jenjang lebih tinggi.

Kemajuan akses pendidikan di desa ini, juga memberikan makna pentingnya infrastruktur pendidikan dalam mendorong partisipasi sekolah. Sejalan dengan pandangan Psacharopoulos (2007), bahwa akses yang mudah ke sekolah dapat mengurangi hambatan bagi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan, perubahan akses di desa ini mendorong masyarakat untuk mempertimbangkan pendidikan sebagai prioritas keluarga.

Selain peran guru, kemudahan bekerja sebagai imigran dan urban dengan bekal ijazah  juga memberikan motivasi baru bagi masyarakat desa. Menurut Todaro (2009), akses terhadap pekerjaan yang layak merupakan daya tarik utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kesempatan ini, khususnya bagi perempuan, telah membuka jalan bagi mereka untuk meraih kemandirian ekonomi.

Menurut teori human capital yang dikembangkan Becker (1964), bahwa pendidikan dianggap sebagai investasi untuk menghasilkan keuntungan masa depan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kerja. Masyarakat yang memahami hal ini akan lebih terdorong mengalokasikan dana untuk pendidikan anak-anaknya. Guru-guru di desa tersebut telah membantu masyarakat dalam melihat pendidikan sebagai aset ekonomi berharga bagi kesejahteraan anak-anak mereka.

Keberhasilan beberapa guru dalam menunjukkan manfaat pendidikan bagi kehidupan sehari-hari juga sesuai dengan pandangan Bourdieu (1986) tentang modal budaya. Guru yang tinggal di desa membawa perubahan nilai dan persepsi mengenai pendidikan, yang akhirnya menginspirasi orang tua setempat untuk meningkatkan pendidikan anak-anak mereka sebagai warisan modal budaya.

Adanya dorongan untuk pendidikan lebih tinggi melalui keteladanan guru sejalan dengan penelitian yang dilakukan Freire (1970) tentang pendidikan sebagai proses pembebasan. Guru-guru tidak hanya mengajarkan materi akademis tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk melihat potensi pendidikan sebagai sarana memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka, terutama bagi kelompok marginal di desa terpencil.

Semakin banyaknya orang tua yang menganggap pendidikan sebagai investasi, maka akan terjadi pergeseran signifikan dalam pola pengambilan keputusan keluarga. Para guru berhasil memperkuat nilai pendidikan di desa tersebut, menjadikan pendidikan bukan sekadar kewajiban tetapi pilihan strategis. Hal ini memperlihatkan bagaimana guru dapat mendorong perubahan struktural di masyarakat terpencil. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top