teradesa.com. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kita saat ini sedang berada pada zaman all blurry (serba kabur). Membedakan kebenaran dengan kesalahan tidak begitu mudah. Kebenaran digoreng sedemikian rupa sehingga tampak sebagai kesalahan. Begitu sebaliknya, kesalahan dan kepalsuan dikemas dalam bingkai media sosial sehingga tampak menjadi kebenaran. Sebagian orang begitu kreatif mengemas kepalsuan dan kesalahannya dalam topeng-topeng dan badut panggung keduniaan.
Dunia dan segala asesoris tampak berkilau dan indah. Dan, kita terbawa masuk melalui kekuatan energinya. Kita menjadi tidak malu mengatakan hal yang salah menjadi benar, dan sebaliknya. Kekaburan adalah dimensi yang memungkinkan bagi seseorang untuk menafsirkan dan menakwilkannya mengikuti kesesatan sistem berfikirnya. Salah satu kemampuan manusia memang mampu menjelaskan hal-hal yang abstrak menjadi konkrit. Dan, sebaliknya menjadikan hal-hal yang jelas menjadi abstrak.
Saya kira banyak contoh kasus-kasus yang menguatkan, mulai dari problem yang mendera tubuh polri, kejaksaan, politik, dunia pendidikan, sampai sosial-kemasyarakatan. Penulis tidak ingin bersikap asketis, ini semua menurut Plato bersumber dari manusia hanya memperturutkan keinginan jasmani. Bagi Plato, tubuh mengandung kejahatan ganda, yakni sebagai medium yang mendistorsikan. Seperti kaca buram, yang mengaburkan penglihatan kita, dan sebagai sumber nafsu yang membelokkan kita dari upaya mengejar pengetahuan dan visi tentang kebenaran.
Tubuh menjadi sumber gangguan terus menerus bagi kita untuk selalu membutuhkan makanan; dan rentan pula terhadap penyakit yang mencegah dan merintangi kita dalam mencari ada yang sejati. Ia banyak membebani kita dengan cinta, birahi, kecemasan, segala macam lamunan, dan ketololan yang tidak ada habis-habisnya, dan pada kenyataannya, seperti banyak dikatakan banyak orang merenggutkan kita samasekali dari segala kemampuan berfikir, bersikap, dan bertindak secara jernih.
Kuncinya adalah orientasi hidup. Oleh karenanya, mengendalikan pikiran, sikap, dan perilaku menjadi penting. Mementingkan jangka panjang ketimbang tujuan sesaat. Mementingkan kedamaian masa tua dibanding kehidupan glamor sesaat. Mementingkan kebahgiaan sejati ketimbang kesenangaan sekelumit. Dan, menyeimbangkan kebahagiaan saat ini, di dunia dan kebahagiaan di masa yang akan datang (akhirat) adalah hal yang patut diperjuangkan. Bukan, sebaliknya.
Hidup dan kehidupan hakikatnya adalah sederhana (simple). Tetapi kadang diri sendiri-lah menjadikannya menjadi rumit (complexity). Kecondongan terhadap kekuasaan, materi, dan berlebihan dalam menganggapnya sebagai suatu kesejatian menurut Plato sebagai sumber immorality. Kesejatian bukan bertempat didalam jasmani seseorang, tetapi ada dalam jiwa. Jiwalah yang akan kekal, dan dapat menunjukkan kebaikan dan keburukan.
Dalam al-Qur’an, Allah swt menjelaskan bahwa didalam al-Qur’an terdapat dua macam ayat, yaitu; ayat muhkamat dan matasyabihat, “…adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah swt. Dan, orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, kami beriman kepada (al-Qur’an) semua dari sisi Tuhan kami” (QS. Ali Imran/03: 07).
Begitu halnya dengan yang kita hadap sehari-hari, selalau bersifat dualisme, misalnya boleh-tidak boleh, baik-buruk, halal-haram, terang-gelap. Tetapi karena sering kita memahaminya secara complexity, maka sesuatu yang simple tersebut menjadi rumit. Bahkan sengaja diburamkan. Hanya orang-orang yang dipimpin oleh jiwa yang jernih yang dapat terus mampu berjalan pada kebenaran hakiki. Semoga kita ada didalam kelompok ini.
Penulis: Nur Kholis