Hijir Ismail (bagian kedua)

teradesa.com. Suatu malam, Nabi Ibrahim a.s bermimpi memperoleh perintah dari Allah Swt untuk menyembelih Ismail a.s sebagai qurban. Ketika terbangun, Nabi Ibrahim a.s termenung memikirkan mimpinya. Ia merasakan betapa beratnya perintah Allah Swt itu. Setelah belasan tahun terpisah, kini anak kesayangan itu harus disembelih sebagai qurban.

Ibrahim a.s adalah hamba yang taat kepada Tuhannya. Ia-pun segera melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi, ia bimbang terhadap Ismail a.s. Akankah ia rela menerimanya? Kemudian, Nabi Ibrahim a.s mengajak Ismail a.s berdiskusi, “wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi diperintahkan untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” Tanya Nabi Ibrahim a.s.

Maka ketika anak itu sampai (pada usia) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim a.s) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia Ismail a.s menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah swt) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”. (QS. Ash-Shaaffaat/37: 102).

Peristiwa qurban yang dilaksanakan Ibrahim a.s dan Ismail a.s pada tanggal 10 dzulhijjah. Menjadi tonggak baru baginya. Keduanya telah lulus dari ujian kesabaran dan kepasrahan secara total (al-Islam) terhadap Allah Swt. Kecintaan keluaga Ibrahim a.s terhadap Allah Swt melebihi kecintaan terhadap diri dan keluarganya.

Kasih sayang Ibrahim a.s terhadap istri dan anaknya sempat menjadikannya ragu terhadap mimpi (wahyu) yang diterimanya. Apakah mimpi (wahyu) yang memerintahkannya menyembelih Ismail a.s itu berasal dari Allah Swt atau syaithan.

Keraguan itu membuatnya ia merenung (tarwiyah) di Mina untuk beberapa waktu sampai ia memiliki pengetahuan sejati di padang Arafah. Sehingga menjadi semakin yakin. Lahirnya keyakinan demikian dipengaruhi oleh pengetahuan, ketaatan, dan kepasrahan bahwa semua perintah Allah Swt (melalui mimpi) merupakan kehendak Allah Swt yang mempunyai hikmah besar dibaliknya.

Kepasrahan (al-Islam) keluarga Ibrahim a.s (Hajar a.s, Ibrahim a.s, dan Ismail a.s) sudah teruji dengan peristiwa qurban. Ibrahim a.s kemudian mendapat perintah penting dalam mensyiarkan agama tauhid, yaitu; perintah membangun kembali rumah Allah Swt (ka’bah).

Nabi Ibrahim a.s menyampaikan kabar gembira ini kepada Ismail a.s, dengan senang hati. Ismail a.s membantu ayahnya melaksanakan perintah tersebut. Mulailah keduanya membangun Baitullah. Sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Nabi Ibrahim a.s bersama dengan Ismail a.s membangun Ka’bah didekat sumber air zamzam.

Ketika Ka’bah telah selesai dibangun, keduanya berdoa kepada Allah Swt, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim a.s meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail a.s, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah/2: 127).

Baitullah merupakan bagian penting dalam ajaran agama Tauhid, yang didakwahkan Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s. Masyarakat yang kebanyakan dari suku Jurhum itulah yang menjadi sasaran pertama dakwah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s. Keduanya memberikan contoh bagaimana mengagungkan Allah swt dalam cara berfikir, bersikap, bertutur, dan berperilaku.

Mereka diajarkan bagaimana cara beribadah kepada Allah Swt dengan berkiblat pada Ka’bah, mencintai Allah swt, mengagungkan Allah swt, dan tidak mensyukutukan-Nya dengan lainnya. Allah swt adalah Tuhan satu-satunya, tiada yang patut disembah selainNya. Suku Jurhum mengikuti dengan penuh ketaatan ajaran Nabi Ibrahim a.s. Mereka menjadi suku pertama yang mengikuti dakwah nabi Ibrahim a.s, yaitu agama tauhid.

Nabi Ismail a.s selalu berbakti dan mendampingi ayahnya, Nabi Ibrahim a.s dalam berdakwah di Makkah dan sekitarnya. Setelah cukup dewasa, baik dalam hal keilmuan, akhlak, berfikir, dan bermasyarakat, Ismail a.s diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul. Nabi Ismail a.s sangat pantas diangkat menjadi Nabi karena ia memiliki akhlak yang mulia, sangat taat kepada Allah SWT, berbakti kepada orangtuanya, menepati janji, dan bijaksana.

Sebagaimana hal demikian dijelaskan dalam al-Qur’an, “Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (al-Qur`an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang Rasul dan Nabi” (QS. Maryam /19: 54). Dalam menjalankan tugas kenabiannya, Nabi Ismail a.s berdakwah di Makkah terutama pada suku Jurhum, ia menyeru umat manusia agar menyembah Allah Swt dan bertakwa kepada-Nya.

Agama-agama tauhid yang didakwakan oleh para Nabi berikutnya tidak lepas dari kontribusi Nabi Ismail a.s. Agama tauhid merupakan dasar dari agama-agama yang didakwahkan oleh para Nabi setelah Nabi Ismail sampai Nabi Muhammad saw. Bahkan ritual ibadah haji yang sampai saat ini dipraktikkan oleh seluruh umat Islam merupakan perjalanan ritual ketuhanan antara Nabi Ibrahim a.s, Siti Hajar a.s., dan Nabi Ismail a.s.

Ada keselarasan antara ajaran Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dengan Nabi-Nabi berikut, terutama adalah mentauhidkan Allah Swt. Oleh karena itu, sejatinya haji adalah mentauhidkan dan mengagungkan Allah Swt. Mulai dari; ihram, thawaf, sa’i, wuquf, dan melempar jumroh adalah gerakan ketauhidan dan pengagungan Allah Swt semata.

Nabi Ismail a.s merupakan tauladan pribadi yang menjunjung tinggi kehormatan orang tua, selalu mendukung cita-cita, asa, dan tujuan hidup orang tua. Pada saat Nabi Ibrahim a.s ragu atas mimpinya, Nabi Ismail a.s menjadi penopang, peneguh, dan penguat sehingga Nabi Ibrahim a.s yakin atas mimpi (wahyu) yang diterimanya. Nabi Ismail a.s adalah tauladan pribadi yang pasrah atas semua kehendak Allah swt, baik yang bersifat gembira maupun sedih.

Pada saat Nabi Ibrahim a.s ragu dan takut menyampaikan perihal mimpi mengorbankan anaknya (Ismail a.s), justru Nabi Ismail a.s yang meyakinkan dan memasrahkan dirinya. Nabi Ismail a.s merupakan sosok pribadi yang teguh dalam pendirian. Pada saat Nabi Ibrahim a.s masih belum yakin 100% atas mimpinya, justru Nabi Ismail a.s bergembira, suka cita, dan menepati keyakinannya dengan memasrahkan diri untuk disembelih.

Nabi Ismail a.s adalah cermin pribadi yang bertanggungjawab. Pada saat Nabi Ibrahim a.s berkunjung ke rumahnya dan menemukan istrinya mengadukan semua kejelekan suaminya dihadapan mertuanya, Nabi Ibrahim a.s. Pada saat itu pula Nabi Ibrahim a.s menitipkan pesan isyarat kepada Ismail a.s agar menceraikan istrinya, maka Nabi Ismail a.s menepatinya untuk menceraikan istrinya.

Nabi Ismail a.s kemudian menikah lagi dengan istri yang dapat menyimpan rahasia rumah tangga sekalipun terhadap orang tuanya. Nabi Ibrahim a.s mengajarkan bahwa sejatinya keluarga merupakan tanggungjawab suami sepenuhnya. Singkat cerita, Nabi Ismail adalah cahaya keteladanan umat tauhid dan beliau wafat di Mekah. Tempat wafatnya saat ini dikenal sebagai Hijr Ismail.

Ismail a.s adalah kekasih Allah Swt. Ia adalah pribadi yang mengikhtiarkan seluruh jiwa dan raga selama hidupnya untuk dicintai Allah Swt. Sejak kecil, ia adalah simbol penyatuan umat, simbol perwujudan peradaban Islam, simbol lahirnya desa-desa dan kota karena dari kakinya muncul air kehidupan umat.

Jeritannya adalah doa, tangisnya adalah dzikir, senyumnya adalah kebahagiaan, dan keteguhannya dalam mencintai Allah Swt adalah ruh peradaban modern. Keikhlasan dan tawadlu’-nya kepada keluarga dan ketaatan kepada Allah Swt menjadikannya ia mendapat tempat luhur di sisi Allah Swt sehingga tempat meninggalnya dijadikan sebagai bagian dari rumah Allah swt (Ka’bah).

Dialah yang meyalakan api cinta. Semangat persaudaraan karena Allah Swt. Akhirnya, Ismail a.s adalah perwujudan cinta dan kasih sayang antara hamba dengan Tuhan alam semesta.Ismail mencohntohkan itu semua. Haji bukanlah tambahan kata sebelum nama seseorang, tetapi haji adalah penyatuan eksistensi diri terhadap Tuhan-Nya, karena hakikat diri adalah bentuk tanazul dzat-Nya. Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top