Hilangnya Dwifungsi Guru

teradesa.com.  Orangnya santun, lembut dan tidak banyak bicara. Ia selalu istiqomah menjadi imam sholat lima waktu di mushola, depan rumahnya. Sore dan malam hari selalu ada untuk mengajar ngaji al-qur’an bagi anak-anak di desa. Sementara, dari pagi sampai siang, ia megajar di Madrasah. Saat itu, saya tidak tahu status gurunya, negeri atau swasta. Selain itu, ia menjadi khatib di sebuah masjid jelek, maklum desa-nya terpencil.

Beliau adalah Abdul Sholeh. Di tahun 1980an sudah mengajar, dan sampai hari ini beliau masih sehat bugar dan tetap menjadi imam Sholat. Dari beliaulah, anak-anak kecil meneladaninya. Bahkan, saking senangnya seorang anak setiap sore sampai habis sholat isya tetap di mushola untuk belajar mengaji dan menjadi muadzin. Sesekali ia belajar qiro’ah, meski ia sadar suaranya tidak merdu.

Kecintaannya terhadap sang Guru, si anak kecil itu pada saat bulan ramdlan tetap menjadi muadzin sholat magrib. Tidak lupa, mamaknya memberinya bekal buah kates, dan/atau kolak. Baru setelah sholat magrib ia pulang untuk berbuka. Hubungan si anak kecil itu dengan sang guru sangat baik, karena selain belajar mengaji di mushola sang guru, si anak kecil itu juga menjadi muridnya di Madrasah.

Sang Guru teladan ini telah memberikan banyak inspirasi kepada anak-anak kecil di desa itu. Dua dekade dari awal pengabdiannya di desa tersubut, banyak anak-anak di desanya yang meneruskan sekolah sakligus nyantri di beberapa pondok pesantren terdekat. Beliau cukup berhasil merubah desa terpencil abangan menjadi desa santri. Saya kira, di masa tuanya beliau dapat tersenyum lega.

Sudah hampir 10tahun beliau pensiun mengajar di Madrasah, tetapi Allah swt masih memberinya kemampuan dan kesehatan. Masih tetap menjadi imam di mushola depan rumahnya.  Meski, harus bergantian dengan tetangganya yang masih muda. Tiga anaknya, semua sudah berumah tangga dan berada agak jauh dari rumahnya.

*********

Menjadi guru di jaman dulu dengan sekarang berbeda. Sebelum tahun 2000an guru di sekolah dasar/madrasah, selain mengajar, pada sore harinya masih sempat mengajar al-qur’an dan materi agama lainnya kepada anak-anak dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan, di siang harinya ia masih sempat ke sawah/tegalan meskipun sekedar merumput untuk sapi dan kambing peliharaannya.

Mengajar dan mengabdi di desa saat itu adalah suatu pemandangan yang biasa di desa. Tuntutan profesinya tidak terlalu muluk-muluk, baik secara administratif maupun kualitatif. Pengabdian yang tulus melekat pada jiwa mereka bahwa mengajar adalah tanggung jawab profesional. Sementara, berdakwa dan mengajar nagji di sore harinya adalah tuntutan keilmuannya.

Tidak, untuk saat ini. Waktu sebagian besar guru dihabiskan di sekolah untuk mengajar dan memenuhi tuntutan administratif. Murid-murid belajar di sekolah mulai jam 07.00 wib sampai sekitar jam 14.30 wib. Sementara, para guru tidak boleh pulang sebelum jam 15.30 wib. Ini, karena tuntutan administrasi bekerja minimal 8jam setiap hari.

Para guru saat ini tidak memiliki waktu untuk mengabdi dan berdakwah kepada masyarakat sekitarnya. Rutinitas mengajar sedemikian padat mulai hari Senin sampai hari Sabtu. Sekarang masyarakat tidak dapat melihat fungsi keguruannya seperti sebelum tahun 200an. Guru sebagai pendidik dan tokoh agama di suatu desa.

Selamat hari guru, semoga para guru di Indonesia tetap menginspirasi dan teladan bagi murid-murid di masyarakat.

Penulis: Cak Nur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top