Intimidasi Preman Tanah

0
52

teradesa.com. Sepupuku hari ini menerima tamu istimewa dari Solo. Anaknya, Jessi, akan bertunangan dengan Angga, temannya semasa kuliah di Surabaya. Sejak semalam mereka datang dan tidur di rumah orang tuaku. Sejak orang tua meninggal tiga tahun lalu, rumah tersebut tidak pernah ditempati.

Sesekali aku yang membersihkan, itupun yang luar dan ruang tamu saja. Tetapi, sejak sepupuku minta dibersihkan, ya kubersihkan satu kamar tamu dan kamar mandi. Listrik sudah tak belikan token Rp. 50.000,- cukup untuk satu bulan kedepan.

Sepertinya memang mereka sengaja tidak mengundangku di acara pertunangan anaknya. Tadi malam, saudara-saudaranya semua kumpul membakar sate ayam untuk acara pertunangan pagi ini. Meskipun mereka meminjam rumah orang tuaku, tetapi mereka tetap tidak peduli denganku. Aku sangat maklum, memang sejak dulu mereka egois.

Sepertinya pintu depan rumahku ada yang ketuk-ketuk. Aku dekati, dan kubuka pintu rumah. Ternyata yang datang dua laki-laki kemarin yang merayu untuk menjual tanah peninggalan orang tuaku.

Bagaimana mbak, tanahnya harus dijual. Jika tidak mau menjual sebagaimana harga yang kami tawarkan, maka kamu akan tau rasanya!”. Nada ancaman mulai dilancarkan kembali.

Aku tidak akan menjual, itu tanah peninggalan orang tua, untuk anakku nanti”. Jawabku singkat. Sambil kuusir paksa mereka. Pintu rumah secepat kilat pula kututup kembali.

Kejadian ini kembali aku ceritakan kepada teman jauhku. Dia hanya menjawab dengan singkat. “ga usah dijual, untuk apa? Toh mereka memberi harga seenak perutnya”.

Teman jauhku memang sudah tahu letak tanah yang dimaksud, mungkin googling di internet. Sepertinya memang dia tidak gaptek. Misalnya, hanya kuberitahu alamat surat rumah, nyatanya juga bisa mengirim makanan via grabfood.

Aku sendiri sebetulnya belum pernah tahu letak persisnya tanah dimaksud. Hanya kubaca di sertifikat bahwa tanah itu terletak di Desa Sumberarum. Perisisnya di pinggir jalan Propinsi. Mestinya memang harganya tinggi untuk ukuran sekarang, jauh dari yang ditawarkan preman kampungan itu.

Setahuku, sejak dulu semua yang berurusan dengan tanah, bapakku selalu menggunakan jasa PPAT notaris, bukan PPAT Camat. Termasuk catatan (leger) tanah ini ada di notaris bu Fransisca, bukan di kelurahan. Di kantor Bu Fransisca inilah leger peninggalan orang tua disimpan, termasuk leger rumah-rumah adikku.

Bapakku dulu seorang pedagang di Pasar. Ia cukup pandai mengelola keuangan keluarga. Jika sudah memiliki tabungan, di-cantol-kan untuk membeli tanah, atau membuatkan rumah anak-anaknya. Semua anak-anaknya sudah dibangunkan rumah, termasuk aku. Meskipun sejak menikah, rumah itu tidak aku tempati, karena harus ikut suami ke kota Pamokan.

Menjelang waktu magrib, perasaanku tidak enak. Sepertinya akan ada intimidasi lagi, seperti beberapa malam hari sebelumnya. Para makelar tanah, preman tanah. Hampir setiap hari dan malam aku diintimidasi oleh mereka. Teman jauhku menyarankan malam ini untuk tidur di rumah orang tua. Tujuannya adalah untuk mengelabui preman tanah.

Mimin malam ini tidur di rumah orang tua saja, agar tidak diganggu preman. Tetapi, lampu nyalakan yang teras saja. Yang dalam dinyalakan secukupnya”. Saran teman jauhku yang terlihat di WA handphone-ku.

Aku ikuti sarannya. Segera aku berkemas untuk pindah ke rumah orang tuaku. Setelah didalam rumah, aku baru sadar jika tidak membawa bekal minuman. Padahal, sejak pagi ini aku hanya makan sekali. Aku duduk di kursi ruang tamu, mengamati sudut demi sudut ruangan tua ini. Makin lama perasaanku, bayanganku, dan pikiranku terbawa ke masa lalu, saat aku masih remaja.

Foto-foto orang tua, dan adik-adikku masih terpampang seperti duapuluh tahun yang lalu. Tidak ada yang berubah, sesekali foto-foto itu kubersihkan. Makin lama foto-foto itu bergerak, sepertinya mengajak bicara. Aku semakin takut. Kusampaikan kondisiku dan ruangan ini kepada teman jauhku.

Kamu hanya berhalusinasi, fokus saja pada diri sendiri, perbanyak dzikir dan mendoakan semua almarhum, inshaallah aman”. Jawab temanku.

Hatiku semakin kacau, ketakutanku tak terbendung. Takut menghadapi ancaman, intimidasi preman tanah, dan takut sendirian di rumah orang tua, yang sudah lama tidak ditempati ini. Aku terus chating dengan teman jauhku. Tetapi, jawabnya selalu standar dan normatif saja.

aku tidak bisa membantu banyak, karena jauh. Hanya bisa mendoakan dari sini. Tenang ya”. Lagi-lagi jawabnya seputar itu. Makin lama sebetulnya aku sebel dengannya. Bercampur aduk dengan perasaan takut.

#4 cerbung, By Cak Nur

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here