teradesa.com. Aku ikhlas menerima semua ini. Aku tidak sedih, aku tidak marah, dan aku terbiasa hidup apa adanya. Apakah aku sedih hanya karena makan sekali dalam sehari? Tidak. Apakah aku marah karena mereka selalu menyakitiku? Tidak. Nyatanya, aku sudah memaafkan dan membebaskan bu Fransisca.
Aku juga tidak butuh Bu Fransisca berbalik baik hati kepadaku. Dia dan adiknya, Citraga berhenti mengintimidasiku—itu saja, bagiku sudah sangat bersyukur. Aku ingin bebas dari ini semua. Kadang aku jenuh, ingin bekerja seperti orang-orang lainnya. Setidaknya agar dapat memenuhi kebutuhanku sendiri.
Kejadian akhir-akhir ini yang menimpaku semakin mendekatkan diriku dengan Allah swt. Aku selalu ingat nasihat Cahya agar aku tidak melupakan sholat malam. Juga, sebelum tidur membersihkan diri, berwudlu dan membaca surat al-Mulk. Dalam sholat malamku, aku berdoa sebagaimana doanya Siti Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun).
“Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim” (QS. at-Tahrim/66: 11).
Aku merasa bahwa cobaan yang bertubi-tubi ini disebabkan salah satu sifat Fir’aun yang diwarisi oleh si mata sipit, citraga dan Bu Fransisca. Kesombongan, kekuasaan, dan kepemilikan harta-lah yang mengekalkan “perasaan” mudah mengatur orang lain sesuai keinginannya.
Dengan harta dan kekuasaan yang dimiliki dapat dengan mudah mengerahkan anak buahnya untuk menghantuiku setiap hari; siang ataupun malam. Siang hari aku tidak berani keluar rumah, meski sekedar membeli nasi bungkus. Malam hari dirundung ketakutan dari intaian di sekitar rumah.
“nduk, malam ini kamu harus hati-hati. Sekarang baliklah bantal tidurmu!”. Orang tua dengan pakaian hitam dan udeng putih tiba-tiba muncul lagi dihadapanku. Dengan tubuh gemetar, aku lari ke kamar untuk membuka bantal.
Kulihat ada kain putih dan boneka tertusuk jarum. Aku tidak tahu dari mana dan sejak kapan benda ini. Kejadian ini langsung kuceritakan kapada Cahya melalui chat WA.
“itu tenung, tenangkan dirimu. Bacakan surat al-fatihan untuk memohon keselamatan pada Allah swt. Dilanjutkan surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas, dan perbanyak membaca ayat kursy. Ohya, jangan lupa benda itu dikubur kedalaman sekitar 25 cm di sekitar peceren (pembuangan limbah air)”
——————
Pagi ini aku mendapat surat dari Polres agar jam 9.00 wib datang ke Mapolres untuk menandatangi berita acara pembebasan Bu Fransisca dari kasus adiknya, Citraga. Baiklah, segera aku menyeleseikan pekerjaan harian di rumah. Setelah semua beres, aku bergegas ke Mapolres.
“mbak Mimin, tadi malam Citraga kabur dari tahanan”. Kabar dari anggota ini membuatku tidak percaya. Dan, sepertinya penderitaanku akan memasuki episode kedua. Dengan perasaan sedih, aku tanda tangani BAP Bu Fransisca dan segera aku pamit pulang.
Perasaanku semakin tidak enak. Semakin kuat kutekan pegas kendaraan, biar segera sampai di rumah. Pagar kupastikan terkunci, begitu juga dengan semua pintu rumah. Kubaringkan tubuh di kamar. Aku ingin sendiri. Dan, tidak seorang-pun tahu jika aku sedang didalam rumah.
Aku yakin pihak kepolisian tidak akan diam dengan kaburnya Citraga. Pak Kapolres pasti mengerahkan intelijen untuk mengendus keberadaan si Citraga. Citraga memang terkenal sangat licik. Aku juga mendapat informasi dari sumber terpercaya bahwa Citraga sejatinya adalah buronan bandar narkoba dari Ibu Kota.
Mengetahui latar belakang demikian, hatiku makin ciut. Apakah aku akan selamat dari kejarannya. Pencarian Citraga belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam tiga hari, sepekan dan dua pekan. Tiba-tiba Pak kapolres mendapat panggilan telpon dari Citraga.
“Pak Kapolres tidak perlu mencariku. Apalagi mengerahkan intelijen dan pasukan khusus. Aku akan menyerahkan diri, tapi dengan syarat Mimin harus mau saya nikahi!”. Itu-lah pesan singkat dari pak Kapolres menceritakan pembicaraannya dengan Citraga.
Dasar syetan gundul! Aku marah, tapi marah pada diri sendiri. Karena tidak ada seorang-pun di rumah. Aku tidak habis pikir mengapa aku dipertemuan dengan orang-orang gila seperti ini. Ya..mereka gila harta, makanya tidak berakhlak.
Aku sudah tidak tahu lagi keberadaan Bu Fransisca. Setahuku dia pernah bercerita akan kembali ke kampung halamannya, di Lumajang. Kantor notaris akan ditutup untuk selamanya. Aku membayangkan bagaimana nasib surat-surat penting keluarga di kantor notaris itu.
“Maaf bu Mimin, saya dari staf notaris bu Fransisca. Saya ditugasi untuk menyerahkan surat-surat keluarga ibu. Apakah sekarang dapat bertemu di café, depan lapangan KONI?” Begitulah pesan dari nomor HP yang tidak kukenal.
Aku bimbang untuk mengikuti orang itu atau tidak. Aku menceritakan ini semua kepada Cahya. Aku ingin meminta pendapatnya, karena aku yakin dia memiliki perspektif yang lebih komprehensip.
“Jangan ikuti kata mereka. Lebih baik memikirkan keselamatan diri. Bisa jadi ini modus Citraga dan Bu Fransisca untuk menjebakmu”. Ujar Cahya dalam percakapan singkatku.
Orang yang mengaku utusan Bu Fransisca terus mendesakku agar segera datang di tempat yang dia tentukan. Aku tetap kekeh mengikuti saran Cahya. Tidak akan mau datang, sampai kapanku. Kecuali didampingi dari pihak kepolisian.
#10 cerbung, by Cak Nur