teradesa.com. Café bukan dominasi kelompok atau tempat tertentu. Berbagai kalangan; tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan lanjut usia menyukainya. Begitu halnya, tidak hanya di kota besar, kota kecil, di desa-desa juga telah banyak ditemukan café. Tentu, desain dan sajian menu disesuaikan segmen masing-masing café. Tetapi, semuanya itu sekarang penyebutannya sama, yaitu café. Berbeda desain café menunjukkan perbedaan harga.
Berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya, penyebutan café hanya diperuntukkan pada tempat-tempat yang menyajikan minuman keras, karaoke, dan pendamping karaoke (purel). Perubahan demikian, sepertinya berbarengan dengan dinamika masyarakatnya. Komponen dinamika masyarakat yang dapat dimasukkan diantaranya; gengsi, gaya hidup, dan perubahan ekonomi. Peluang orang mendapatkan penghasilkan tidak seperti dulu, sambal ngopi-pun sekarang bisa mendapatkan penghasilan.
Sama, salon dan barbershop, beberapa tahun sebelumnya hanya untuk kalangan ekonomi atas. Tetapi, sekarang di pinggiran jalan banyak kita temua barbershop (tempat cukur) atau salon, juga merambah sampai desa. Kebutuhan masyarakat yang semakin beragam memungkinkan orang-orang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan relasi membuka dan meredesain bisnis, yang awalnya elitis menjadi model yang cocok untuk semua kalangan.
Kebutuhan bersantai bersama keluarga dan kolega, yang awalnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan primer (makan, minum), sekarang telah berubah. Bertambah, dengan pemenuhan kebutuhan tertier. Misalnya rekreatif, relaksasi pikiran dan jasmani. Oleh karena itu, desain café tidak hanya untuk betah ngopi. Tetapi juga perlu ada spot-spot yang menarik untuk selfi. Dan, tentu ujung-ujungnya untuk kepentingan ngonten.
Ngonten dan spot café yang cakep memiliki kepentingan yang saling berkelindan. Bagi pemilik café, semakin banyak yang ngonten diberbagai media sosial, semakin menguntungkan karena ia akan viral. Sementara, bagi pengonten, spot yang sangat menarik menjadikan kontennya semakin banyak follower dan viewer-nya, ujung-ujungnya dia terkenal dan mendapatkan penghasilan. Yah, dunia telah berubah dari pekerjaan yang berbasis manual menjadi serba digital.
Beragam tujuan seseorang pergi ke café; ada yang sekedar ngopi, ngopi sambil wifi gratis, mendiskusikan tugas sekolah/kuliah, mendiskusikan pekerjaan, atau merancang kegiatan bersama. Anak-anak muda di beberapa café ada yang merancang dan mempresentasikan kegitan dalam bidang social preneur, mendesain bisnis digital, marketing digital, dan sebagainya. Meskipun demikian, ada juga yang bermain-main, ngegame dan sebagainya.
Café tidak lagi selalu berkonotasi negatif. Ia telah berubah menjadi tempat yang positif, termasuk untuk membranding diri. Gaya hidup merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; tetapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain identitas. Begitulah, bermain identitas tidak lagi membutuhkan modal yang besar.
Pergilah dari café satu ke café lainnya; selfi dan videokan, unggah di story. Identitas diri berubah menjadi selebmedsos. Masyarakat hanya akan mengonsumsi citra yang melekat pada seseorang, barang atau jasa. Mereka tidak pernah merasa puas, maka akan selalu membuka unggahan yang selalu melintas di beranda masing-masing. Fenomena demikian akan memicu terjadinya konsumsi secara terus menerus. Nur Kholis