teradesa.com. Saya termasuk satu diantara banyak orang yang percaya bahwa rangkaian kata, kalimat, sikap, dan perilaku seseorang mengandung jiwa. Ia memiliki kekuatan mempengaruhi pihak lain untuk memiliki pandangan, sikap dan keputusan yang sama. Kemampuan mempengaruhi pihak lain adalah merupakan wujud adanya jiwa atau ruh didalamnya.
Pihak lain tidak dapat memahami keinginan jiwa dibalik simbolisasi kata, sikap dan perilaku seseorang dengan cara menafsirkan simbolik itu. Penafsiran demikian pada puncaknya melahirkan pandangan, sikap, dan perilaku pihak lain, yang dalam konsep psikologi disebut respon. Nah, respon inilah yang kemudian kadang meinimbulkan masalah, yang biasanya disebut dengan; salah tafsir.
“Jiwa Yang Bersedih menceritakan tentang perjalanan seseorang dalam menjalani kehidupan. Perasaan lelah, letih, terluka, merasa tidak dihargai, berpura pura sempurna, bersikap seolah olah kuat dan baik saja, tersenyum walaupun menangis tentu pernah dirasakan semua orang dan lagu ini hadir untuk menyemangati orang orang yang sedang mengalami fase lelah itu”.
Kalimat di atas pure dicopas dari deskripsi video lagu Ghea Indrawari, “jiwa yang bersedih”. Suatu ketika deskripsi tersebut diunggah oleh seseorang yang usianya 50an dalam sebuah grup WA. Menurut penulis, dari beragam respon dapat dikategorikan menjadi tiga model respon.
Pertama, menolak tua. Dalam usia diatas 50 tidak selayaknya seseorang mendengarkan lagu-lagu yang cocok untuk anak usia muda/remaja. Atau, deskripsi dalam lagu di atas hanya cocok untuk anak-anak mudah. Atau bisa jadi bahwa kata “menolak tua” untuk mendeskripsikan orang tua yang berperilaku seperti anak muda, suka bercinta.
Kedua, terlalu baper. Kalimat ini untuk menggambarkan bahwa kesan negatif bagi seseorang yang terbawa emosi dari isi sebuah lagu. Seolah-olah seseorang yang menyukai lagu demikian tidak rasional. Sebaiknya seseorang hanya lebih baik mendengarkan lagu-lagu yang akan menambah semangat dan kebaikan dalam hidup.
Ketiga, kalimat indah memiliki makna mendalam. Untaian kalimat dalam lagunya Ghea sama sekali tidak ada kata, kalimat, atau yang semakna dengan luapan cinta anak muda. Bahkan, didalam deskripsi di atas juga tidak ada yang bersinonim dengan penggambaran gelora cinta, dan cenderung membawa pada perasaan putus asa atau kesedihan yang mendalam.
Sebenarnya mana diantara ketiga respon di atas yang benar? Pada hakikatnya semua respon dalam bentuk apapun; ucapan, tulisan, sikap, dan perilaku memililiki kadar kebenaran dan kesalahan yang berbeda. Disini-lah kita bertemu dengan klasifikasi kebenaran. Masing-masing ketiga kategori di atas memiliki kebenaran subyektif sesuai sudut pandangnya masing-masing. Inilah, yang kemudian disebut sebagai kebenaran parsial.
Seseorang boleh saja “memaksakan” kebenaran parsialnya berpengaruh terhadap pihak lainnya. Tetapi ingat, bahwa adu argumentasi yang didasarkan pada rasionalitas universal-lah yang akan menaikkan derajat suatu kebenaran parsial menjadi kebenaran universal. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk sepaham dan/atau tidak sepaham dengan suatu pandangan pihak lainnya. Semakin banyak yang sepaham itulah yang menentukan derajat universalitas gagasan.
Suatu dialog, diskusi atau apapun hendaknya tidak dilakukan dengan tujuan untuk saling menyerang. Bahkan, sebaiknya menjauhkan diri dari sikap underestimate, stereotype, dan/atau stigma terhadap pihak lain. Karena suatu pandangan seseorang belum tentu memiliki derajat keberan universal. Saling menghormati, menghargai, dan terlebih empati diperlukan untuk harmonisasi.
Harmonisasi merupakan prasarat terjadinya diskusi yang menghasilkan sesuatu cukup bermakna. Akan lebih bermakna jika seseorang mampu menggali apa yang sesuangguhnya diharapkan, diinginkan dibalik semua ucapan, kalimat, sikap dan perilaku (simbolisasi) pihak lain. Deskripsi yang ada dalam lagu Ghea di atas, hakikatnya menurut penulis memiliki makna dibaliknya yang sangat mendalam dalam kontek hidup asketis.
Semua jiwa yang bersemayam dalam diri seseorang, pada awalnya bahagia dalam dekapan Tuhan di alam mitsal. Setelah ia bersemayam kedalam diri seseorang di alam syahadah (alam indrawiyah/empiris), maka beragam pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan suatu jiwa. Bahkan ia sering bersedih ketika jasad (manusia) yang hinggapi hidup penuh kepura-puraan.
Manusia cenderung berpura-pura sempurna. Sempurna dalam berpenampilan, sempurna dalam keilmuan, sempurna dalam kepemilikan, sempurna dalam jabatan, dan sempurna dalam bentuk apapun. Begitulah kecendrungan manusia untuk show dalam polesan yang menutupi ketidaksempurnaannya, hanya supaya dipandang sebagai idola. Berhentilah menjadi diri obses sempurna dan hiduplah apa adanya, agar tidak terus menderita. Karena hakikat makhluk adalah ketidak-sempurnaan. Cak Nur