teradesa.com. Pada bagian sebelumnya, penulis menguraikan bahagia berdasarkan pandangan pada filosof. Setidaknya, pandangan mereka cukup mewakili pemahaman kita tentang hakikat bahagia. Konsep ini penting dibahas, terutama dikaitkan dengan sifat-sifat Tuhan, sehingga keimanan seseorang dapat bertambah, termasuk menambah kesyukuran terhadap nikmat-nikmat-Nya. Pandangan demikian, sesuai dengan pandangan kaum humanisme religius.
Semua orang memiliki hak, dan, itu memang diberikan Tuhan untuk bahagia. Bahagia tidak hanya dimiliki oleh orang yang memiliki pangkat, harta benda, orang dewasa, laki-laki, perempuan, tetapi juga orang yang tidak berharta benda, tidak berpangkat atau anak-anak kecil sekalipun. Oleh karena itu, pantas dipertanyakan apakah hakikat bahagia, faktor kebahagiaan, klasifikasi bahagia, sumber kebahgiaan dan sebagainya.
Setidaknya terdapat dua pertanyaan sebagai dasar untuk menganalisis semuanya. Apakah kebahgiaan itu mutlak-obyektif? Atau sebaliknya, apakah kebahagiaan itu parsial-subyektif. Dua pertanyaan dapat dipergunakan untuk membangun konsep kebahgiaan yang abstrak itu. Dan, juga menarik untuk didiskusikan bagaimana setiap orang memungkinkan merasakan bahagia. (Yang terakhir ini akan dianalisis pada tulisan tersendiri).
Tuhan menciptakan manusia disertai dengan potensi bahagia. Bahkan, penciptaan manusia dilakukan oleh Tuhan dalam konteks kesadaran kecintaan dan kebahagiaan itu sendiri. Saking bahagianya, setelah sukses menciptakan prototype manusia, Tuhan membanggakan penciptaannya itu kepada semua Malaikat. Ekspresi kebahagiaan demikian tidak pernah terjadi pada saat Tuhan berhasil menciptakan makhluk-makhluk lainnya.
Potensi bahagia diberikan oleh Tuhan kepada semua manusia, termasuk instrumennya. Misalnya didalam otak manusia bagian depan sisi atas terdapat cortex prefrontalist—inilah, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai instrument/potensi bahagia. Kemampuan seseorang mengendalikan unsur ini akan menjadikannya merasa bahagia. Sementara, unsur kebalikannya, yang menjadikan seseorang gampang marah, sombong, dan sifat-sifat buruk lainnya terdapat dibawahnya, disebut system limbik—sumber ketidak-bahagiaan.
Bahagia tidak didapatkan karena faktor keturunan, jasmaniah, bendawi atau hal-hal lainnya yang bersifat indrawiyah. Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa hal indrawiyah penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Jika kebahgiaan menempel pada semua hal yang bersifat indrawiyah, maka Tuhan tidak adil. Potensi dan instrumen untuk bahagia menempel pada semua keragaman manusia. Hanya diperlukan baginya untuk mampu mengelolanya dengan baik.
Sampai di sini, setidaknya kita mungkin akan menolak pandangan bahwa bahagia itu bersifat mutlak-obyektif. Cara pandang tentang hidup dan kehidupan, visi dan tujuan hidup seseorang berpengaruh terhadap konsepsi kebahagiaannya. Al-Farabi misalnya, bukannya ia benci terhadap pangkat dan harta benda yang disediakan oleh kerajaan, tetapi ia lebih memilih hanya mengambil sebagian gajinya untuk kebutuhan minimal hidupnya. Selebihnya disedekahkan kepada fakir miskin.
Bahagia itu parsial-subyektif. Seseorang merasa bahagia hanya dengan memiliki sepeda motor, karena dapat menunjang mobilitas pekerjaannya. Yang lainnya, bahagia ketika memiliki mobil karena dapat meningkatkan performance dihadapan para koleganya. Seseorang sangat bahagia dengan hidup sederhana apa adanya di sebuah desa, tetapi lainnya merasa bahagia dengan hidup mewah di perkotaan. Ya, saya kira hal demikian tidak perlu diperpanjang tulisan. Karena, faktanya setiap orang dalam kondisi bagaimanapun tetap dapat merasakan bahagia.
Seseorang lainnya mungkin akan berpendapat bahwa letak bahagia tidak terdapat didalam semua atribut kemanusiaan-indrawiyah—karena, hal demikian ujung-ujungnya akan terjebak pada sikap hidonisme. Bahagia, bagi seseorang mungkin hanya terletak pada kemampuannya mengendalikan nafsu, ditundukkan oleh ruhani (pikiran dan hatinya), karenanya bahagia terletak pada hati, bukan pada jasmaniahnya. Bahagia indrawiyah bersifat sementara, sedangkan bahagia hati adalah langgeng.
Penulis: Nur Kholis