teradesa.com. Sebelumnya kita telah mendiskusikan sistem kepercayaan yang menghambat perubahan. Kok bisa? Ya, itu bersumber dari kebenaran yang tidak benar. Oleh karena itu, carilah kebenaran yang bersumber dari kebenaran yang benar sebagai dasar sistem kepercayaan. Tugas manusia adalah menemukan kebenaran mutlak. Kaum positivistik telah menemukan suatu teori pengetahuan ilmiah bahwa pengetahuan haruslah dapat diobservasi, diukur, dan obyektif. Ini setidaknya dapat dijadikan pedoman untuk menemukan suatu kebenaran. Tapi ingat ya, kebenaran demikian adalah kebenaran yang relatif.
Semua kebenaran yang ditemukan berdasarkan indera manusia adalah kebenaran relatif. Karena memang bersumber dari hal yang berkemampuan relatif (indera manusia). Penglihatan adalah relatif termasuk apa yang terlihat dari penglihatan tersebut. Pendengaran adalah relatif termasuk apa yang didengarnya. Pengecap adalah relatif termasuk yang dihasilkannya. Betatapun relatifitas hasil penginderaan manusia tersebut tetap saja memiliki manfaat bagi hidup dan kehidupan individu dan sosial. Oleh karena itu, mempergunakan model positivistik dalam menemukan suatu kebenaran merupakan suatu keharusan.
Relatifitas ini menunjukkan bahwa proses pencarian kebenaran haruslah tetap dilakukan, baik secara individual maupun kolektif—revolusioner ataupun kontinue. Ini, adalah bagian dari proses pendakian untuk menemukan kebenaran mutlak. Sejatinya, keberagamaan adalah riyadloh untuk mendekati dan menyatu dengan kebenaran. Jangan hanya puas dengan temuan kebenaran relatif. Jika kebenaran relatif ini dijadikan sebagai sumber sistem kepercayaan, maka hanya ada dua pilihan dampaknya, yaitu; Pertama, sistem tersebut justru menghambat perubahan karena sudah mentradisi tanpa tindakan kritis. Kedua, sistem kepercayaan tersebut dapat pemicu perubahan karena selalu dipertanyakan kembali kebenarannya (sikap kritis).
Setiap tradisi agama, pengetahuan, dan keagamaan haruslah tetap dikritisi, dikaji, dan dianalisis kembali. Cara demikian, selain untuk memenuhi perintah Islam—belajar, juga dimaksudkan agar kualitas pengetahuan dan keberagamaan seorang individu semakin berkualitas. Kualitas pengetahuan keagamaan akan mendorong seseorang untuk beragama tidak sekedarnya; sholat tidak sekedar sholat, puasa tidak sekedar menahan haus dan lapar, zakat tidak sekedar mengeluarkan minimal kewajiban, dan haji tidak sekedar menjalankan ritual Ibrahimiyah. Setiap ritual haruslah berdampak untuk dapat meningkatkan kualitas spiritualitas keberagamaan.
Pengetahuan hendaknya tidak sekedar menjadikan seorang individu menjadi tahu, tetapi haruslah melahirkan kesadaran baru, yaitu kesadaran kebertuhanan. Model inilah yang dikehendaki Tuhan, sebagaimana difirmankan dalam QS. Ali Imran/03: 191. Pengetahuan tidak boleh berhenti hanya untuk menghasilkan teknologi semata—sebagaimana dalam tradisi Barat, apalagi pengetahuan hanya untuk pengetahuan sebagaimana tradisi Yunani. Pengetahuan selain didedikasikan untuk keduanya, juga harus menjadikan individu sadar siapa dirinya, bagaimana seharusnya pengetahuan didedikasikan, dan apa manfaat yang seharusnya dihasilkan bagi kehidupan.
Pengetahuan kebenaran yang bersumber dari kebenaran mutlak (Tuhan) akan menghasilkan norma, nilai-nilai, dan tradisi yang membebaskan. Membebaskan seorang individu dari reduksi diri terhadap rona-rona kehidupan yang relatif. Rona-rona kehidupan dapat berwujud apa saja, mulai dari yang halus sampai kasar, dan ragawi sampai ruhani, juga bisa berupa sistem kepercayaan, norma, dan nilai-nilai. Seseorang yang terbelenggu oleh rona duniawi akan menjadikan diri menjadi obyek. Obyek selalu dalam posisi yang diatur, dan dieksperimentasi. Berbeda, jika seorang individu menjadi subyek, ia tidak akan tunduk pada siapapun dan apapun. Justru, ia akan tetap selalu kritis terhadap pemikiran, norma, nilai-nilai, tradisi, situasi, dan kondisi lingkungan sekitarnya.
Sistem kepercayaan yang dibangun berdasarkan kebenaran yang benar menjadikan manusia sebagai subyek. Posisi subyek akan menjadikan diri individu mampu mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya secara baik. Suatu ketika ia dapat kritis terhadap norma, nilai-nilai dan tradisi lingkungan sosialnya, tetapi dilain waktu ia justru yang akan menghasilkan norma dan nilai-nilai sebagai hasil dari tafsir dan rekontruksi ajaran-ajaran kebenaran yang benar. Ia tidak akan terikat dengan norma dan nilai-nilai leluhur, juga tidak terbelenggu oleh tradisi nenek moyang. Norma, nilai, dan tradisi nenek moyang hanya akan ditempatkan sebagai pintu masuk untuk memahami kesemestaan, dan selanjutkan dikritisi untuk menemukan kebenaran yang benar.
Dan, sudah dapat pastikan bahwa kebenaran yang benar itu dapat ditelusuri, dikaji, dan ditafsirkan dari kita suci al-Qur’an. Berdasarkan kitab suci tersebut manusia dapat membebaskan diri dari belenggu tradisi, menemukan model baru dalam pengelolaan hidup dan kehidupan yang manusiawi, dan mampu menciptakan tradisi baru untuk menghasilkan kehidupan yang berperadaban baru. Inilah paradigma dakwah Nabi saw, menguatkan kebiasaan yang baik dan merubah tradisi lama yang tidak baik, dan yang justru merendahkan martabat manusia. Pengetahuan kebenaran yang demikian akan menjadi rahmah bagi semua, hidup penuh keceriaan, kebahagiaan, dan mencerahkan bagi lainnya. #Nur Kholis.