Kemiskinan Tidak Benar Benar Ada

0
131

teradesa.com. Mungkin kita pernah mengeluh, Allah swt tidak adil, disaat menerima musibah atau dalam kondisi buruk. Pertanyaannya, apakah semua hal yang buruk itu bersumber dari Allah swt atau diciptakan Allah swt? Jika iya, berarti memang Allah swt tidak adil. Karena, tentu, bagi mereka yang mendapat kebaikan,  dan kelebihan pasti hidupnya selalu menyenangkan. Dan, sebaliknya, bagi mereka yang mendapat keburukan atau kemiskinan, juga merasa sedih. Jika tidak bersumber dari Allah swt, lalu siapa yang menciptakan (mengadakan) ?

Semua orang pasti mendambakan hidupnya cukup, menyenangkan, dan selalu dalam kondisi baik. Bahkan, terhadap anak keturunannya selalu mengharapkan seperti itu. Setiap saat, sebagai orang tua selalu berdoa untuk kebaikan orang tua, diri sendiri dan anak-anak keturunannya. Dengan demikian, setiap orang pasti mengharapkan tidak terjadi hal yang sebaliknya. Ini prinsip logika, jika terdapat oposisi, maka adanya yang satu akan meniadakan lainnya. Senang-sedih, hitam-putih ini oposisi. Jika senang, maka pasti tidak sedih, begitu pula, sebaliknya.

Sesuatu yang ada (existence, being) karena diciptakan atau diadakan oleh yang ada (existence, being). Tetapi, tidak mungkin yang tidak ada (nonexistence, nonbeing, nothingness) diadakan oleh yang ada (existence, being). Misalnya, saya ada, maka tulisan ini ada. Jika tulisan ini tidak ada, maka penulis (saya)-pun tetap ada. Mungkin dari sini sudah dapat dipahami, dan pertanyaannya sekarang adalah apakah keburukan itu betul-betul ada? Misalnya kemiskinan, kesedihan, ketidakberdayaan, kekalahan, kebodohan, sakit, dan sebagainya.

Jamak dipahami, bahwa Allah swt adalah maha adil, maha penyayang, maha bijaksana, maha memberi rizki, dan sebagainya. Jika Allah swt memiliki sifat-sifat seperti ini, bahkan, akhlak Allah swt itu tercermin dalam al-asma al-husna, diantara asma-asma itu al-Rahman dan al-Rahim adalah asma yang paling dominan. Maka, sepertinya tidak mungkin Allah swt mencelakai atau membuat hambanya sedih tertimpa keburukan. Lalu, kita menjawab, berarti kebaikan bersumber dari Allah swt dan keburukan adalah bersumber dari manusia. Ga begitu juga seech.

Menurut Ibnu Arabi, sesungguhnya keburukan itu tidak benar-benar ada/wujud (nonexistence, nonbeing, nothingness). Kok bisa? Nyatanya kita pernah merasakan sakit, susah, miskin, kecelakaan, dan sebagainya. Lebih lanjut, menurut Ibnu Arabi bahwa yang tampak atau kita rasakan sebagai keburukan sesungguhnya adalah ketiadaan/kekurangan kebaikan. Contohnya, ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan, kemiskinan dan kelemahan adalah ketiadaan/kekurangan pendengaran, penglihatan, kesehatan, pengetahuan, kecukupan, dan kemampuan. Sama halnya dengan kegelapan, sebetulnya kegelapan itu tidak ada, yang ada adalah kurang/tiadanya cahaya.

Ini semua, bersumber dari suatu kenyataan bahwa manusia dan makhluk lainnya bukan existence, being (wujud) yang riil. Wujud yang mutlak adalah zdat Allah swt. Yang menjadikan kebaikan dan kesempurnaan  mutlak pula. Manusia adalah campuran antara kebaikan dan kekurangan. Kekurangan ini merupakan akibat dari kenyataan bahwa ia adalah wujud yang bercampur dengan ketiadaan. Ketiadaan/kekurangan manusia merupakan konsekwensi dari kadar keterpisahan dari atau keberadaannya “diluar” Allah swt. Jika seseorang semakin menyatu dengan Allah swt, maka akan semakin sedikit kadar kekurangannya dan semakin mendekati kesempurnaan kebaikannya.

Semua atribut kemanusiaan kita, memiliki sifat yang sama dengan material lainnya, yaitu selalu mengalami perubahan, pergantian, memuai, menguap, dan/atau berkurang, atau juga bisa sebaliknya. Prinsip utamanya adalah memiliki sifat ketidak-abadian atau relatifitas. Jika seseorang selalu mengejar atau mendekati ketidak-abadian atau relatifitas, maka ia akan menyatu dalam ketidak-abadian atau relatifitas itu. Dengan demikian, bukannya ia mendapatkan kesempurnaan kebaikan tetapi malah bisa sebaliknya. Kalaupun toh mendapatkan kebaikan, pasti kebaikannya tidak abadi (relatif).

Mau tidak mau, ini hukum alam, sunnatullah, meningkatkan tingkat kadar kedekatan, meskipun harus melalui proses pendakian yang berliku kepada dzat yang sempurna (being reality) adalah merupakan suatu jalan (thariq) yang benar atau jalan menuju kesempurnaan diri. Semakin mendekati kesempurnaan, maka kebaikan diri akan semakin bertambah, dan selalu mendapatkan limpahan kebaikan yang abadi, inshallah. Allah swt sudah menunjukkan jalanNya, tetapi manusia memang diberi kebebasan berkehendak, ia memilih kebaikan riil atau kebaikan fatamorgana. Pilihan ada pada diri kita masing-masing. #Cak Nur

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here