teradesa.com. Tuhan dan manusia memiliki dua sisi ruhaniyyah. Sisi kemanusiaan (nasutiyyah) dan sisi ketuhanan (lahutiyyah). Ketika sisi nasutiyyah manusia berelasi dengan sisi lahutiyyah Tuhan, atau sisi lahutiyyah manusia dengan sisi nasutiyyah Tuhan, maka mewujudlah ruhaniyyah-lahutiyyah manusia dan nasutiyyah Tuhan. Itulah momentum wahdah, manunggal. Kemanunggalan yang sepenuhnya lahutiyyah. Manusia dan Tuhan kembali pada pada situasi primordialnya. Orang jawa menyebutnya, manunggaling kawulo-gusti, gusti-kawulo, kawulone-gusti. (bersambung), wallahu’lam. 8 Ramadlan 1442 H / 20 April 2021 M. Prof. Maftukhin, M.Ag. Rektor IAIN Tulungagung.
Semakin ke sini, penulis merasa belum sepenuhnya dapat mengikuti alur pikir pak Rektor. Itu mungkin, latar belakang bidang keilmuan penulis jauh berbeda dari pak Rektor, beliau ahli filsafat sufisme, sedang penulis bidang ilmu pendidikan. Tetapi, penulis tidak boleh menyerah, sesuai komitmen awal bahwa saya akan menulis sesuai dengan perspektif saya tentang quote-quote beliau setiap hari selama bulan ramadlan 1442 H ini. Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menguraikannya, agar dapat dipahami lebih detail oleh pembaca. Bagi kebanyakan orang, quote-quote demikian memerlukan penjelasan lebih detail. Untuk itu, sebelum menulis terlebih dahulu penulis membaca literatur-literatur terkait, bahkan untuk kali ini penulis melacak tulisan yang terkait dengan bidang tasawuf falsafi.
Sejauh yang penulis baca, terdapat tiga peletak dasar tasawuf falsafi dari generasi pertama, yaitu; 1) Umm al-Khair bin Ismail al-‘Adawiyyah al-Qaisiyyah, Lahir di Basrah, 717 M (95-185 H), atau yang dikenal dengan nama Rabi’ah al-‘Adawiyyah, tokoh pertama tasawuf cinta (mahhab ilahi). 2) Taifur bin Isa bin Surushan (188-261 H), lahir di Bustam, Persia, yang kemudian dikenal dengan nama al-Bustami atau kadang dipanggil Bayazid. 3) Abu Mufid al-Husain bin Mansur Mahammal al-Baidawi al-Hallaj (244-309 H), lahir di Desa Tur, Kota Shairaz. Ketiga tokoh sufi ini merupakan generasi pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menggabungkan rasa sufistik dengan bidang keilmuan lain yang rasional. Dipihak lain, ada tasawuf sunni yang merupakan aliran tasawuf moderat berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Ketiga tokoh aliran tasawuf falfasi ini memiliki jalan yang ditempuh (metode) berbeda, tetapi pada dasarnya tujuan sama, yaitu kesatuan manusia-Tuhan, manuggal (wahdah). Metode yang ditempuh oleh al-‘Adawiyah dengan konsep mahabbah ilahi-nya adalah zuhud, ridla, ihsan, dan mahabbah. Metode yang ditempuh oleh al-Bustami untuk mencapai manunggal kawulo-Gusti (wahdah) adalah al-fana’, al-Baqa’, dan ittihad. Sedangkan metode yang ditempuh oleh al-Hallaj adalah al-hulul, al-haqiqah, dan al-Muhammadiyyah. Al-‘Adawiyyah mengembangkan metode dengan tujuan akhirnya cinta Tuhan, bukan takut neraka atau merindukan syurga. Sementara, al-Bustami dan al-Hallaj tasawufnya mirip, yaitu kesatuan manusia-Tuhan, Tuhan-manusia. Dalam versi jawa oleh pak Rektor disebut manuggaling kawulo-Gusti, Gusti-kawulo. Momentum inilah yang dinamakan wahdah, kembali ke asal (primordial) dalam wujud yang berbeda.
Menurut al-Bustami, bahwa konsep kesatuan manusia-Tuhan adalah hasil dari metode terakhir al-Bustami, yang disebutnya ittihad yakni sufi merasa menyatu dengan Tuhan setelah menempuh jalan menghancurkan “kemanusiaannya” (al-fana’), dan kembali sadar (al-baqa’). Menurut pandangan penulis bahwa model kesatuan manusia-Tuhan yang disampaikan pak Rektor ini terinspirasi oleh metode sufi yang dijalani al-Hallaj. Menurut al-Hallaj, setelah sufi menjalani metode menghancurkan sifat-sifat kemanusiannya (al-hulul), Tuhan memilih tempat di badan manusia yang terpilih. Karena menurutnya, Tuhan memiliki dua sifat dasar, yaitu ketuhanan (lahut), dan sifat kemanusiaan (nasut). Pandangannya ini didasarkan pada sebuah hadits, “sesungguhnya Allah swt menciptakan Adam a.s sesuai dengan bentuk-Nya”. Dengan demikian sufi harus menempuh jalan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaanya agar secara ruhani dapat menyatu dengan ruhul kudus (ruh tuhan/lahut), yang disebutnya dengan al-Muhammadiyyah”.
Sifat nasut-lahut manusia pada dasarnya bersumber dari prefrontal cortex (otak manusia). Bagian otak ini memiliki kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menganalisis pikiran, sikap, dan tindakan yang benar dan baik. Kebenaran pikiran, sikap, dan tindakan manusia didasarkan pada hasil analisisnya bahwa apakah semuanya memiliki manfaat bagi diri, keluarga, dan orang lain berdasarkan hasil analisis rasionalnya. Sedangkan, kebaikan pikiran, sikap, dan tindakan didasarkan pada pandangan bahwa apakah pikiran, sikap, dan aktualisasi tindakannya sesuai dengan nilai-nilai, normal, dan aturan agama dan/atau sosial kemasyarakatan. Metode zuhud yang tempuh al-‘Adawiyyah sebenarnya merupakan proses memfanakan (menghancurkan) sifat-sifat manusia yang bersumber dari sistem limbiknya (sifat kebinatangan manusia).
Menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan, sebagaimana ditempuh oleh al-‘Adawiyyah (zuhud), al-Bustami (al-fana’), dan oleh al-Hallaj (al-hulul) pada hakikatnya bukan sifat-sifat yang bersemayam di otak manusia (prefrontal cortex), tetapi sifat-sifat kebinatangan manusia yang bersemayam di otak hewan (sistem limbik). Pengancuran sifat-sifat demikian pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan/atau sosial. Tetapi justru hal demikian adalah suatu keniscayaan agar setiap individu manusia memiliki akhlak yang baik, sebagaimana dicita-citakan Nabi Muhammad saw, dalam risalahnya. Nabi Muhammad saw pada dasarnya diutus dengan membawa misi utamanya adalah agar manusia memiliki akhlak yang luhur. Akhlak yang luhur dapat tumbuh dan berkembang dalam diri individu apabila prefrontal cortexnya lebih dominan.
Tuhan adalah maha suci, Dia hanya dapat menyatu dengan ruh-ruh (ruhani) manusia yang telah suci (manusia terpilih versi al-Hallaj). Dalam pandangan al-Ghozali bahwa sifat-sifat kebinatangan manusia disebut dengan hati yang sakit (qolbun maridl). Aktualisasi qolbun maridl, diantaranya; dengki, hasut, adudomba, khianat, fasik, pemarah, dan lain-lain. Semua sikap dan tindakan yang dilarang berdasarkan aturan agama atau sosial adalah termasuk bagian dari hati yang sakit. Sifat-sifat demikian hendaknya dibunuh sehingga tidak terus menerus bersemayam didalam tubuh manusia. Setiap muslim hendaknya menempuh jalan menyucikan jiwa, menyucikan nafsu-nafsu, dan terus menerus membakar lemak-lemak jiwa agar ia dapat kembali menyatu dengan Tuhan (momentum primordial) (QS al-Fajr/89: 27-30). (Bersambung, wallahu’alm). #Nur Kholis.