Kesatuan Tuhan-Manusia (2)

teradesa.com. Hubungan harmoni manusia dengan Tuhan yang lahutiyyah murni tanpa unsur nasutiyyah selalu bersifat personal. Individu-individu yang mencapai maqam tersebut, lebur dalam Tuhannya karena kehilangan sisi nasutiyyahnya. Inilah situasi individu yang hampa kemanusiaan. TuhanKarenanya relasi nasutiyyah dan ilahiyyah layaknya diwujudkan manusia dalam wahdat al-wudud al-insaniyyah. Orang jawa menyebutnya manunggaling kawula, kawulane kawula, Gusti-gusti. Itulah kemanunggalan antar manusia yang sederajat, saling menghormat atas nama keimanan sesama. Wallahu’alm. 9 Ramadlan 1442 H / 21 April 2021 M. Prof. Maftukhin, M.Ag. Rektor IAIN Tulungagung.

Sekedar info bahwa generasi berikutnya, yaitu para sufi yang mengikuti pemikiran al-Hallaj, diantaranya adalah Hakim al-Tirmidhi, ibnu al-‘Arabi, ‘Abdul al-Karim al-Jili, dan Jalaluddin Rumi. Sedangkan pemikiran sufi falasafinya al-Hallaj banyak dipengaruhi oleh al-Bustami. Nah, untuk menguraikan Quote pak Rektor kali ini, penulis mendasarkan pada pemikiran ibnu ‘Arabi dan Ronggowarsito tentang penyatuan manusia-Tuhan, atau dalam konsepnya, Ronggowarsito disebut sebagai manunggaling kawula-gusti.  Sebetulnya, genealogi konsep Ronggowarsito ini dapat dirunut dari konsep mahabbah (al-Adawiyyah), ittihad (al-Bustami), al-Muhammadiyyah (al-Hallaj), dan wahdad al-wudud (Ibnu Arabi). Dengan demikian, konsepnya manunggaling kawula-gusti pada dasarnya merupakan penyerapan konsep/pemikiran tasawuf falsafi arab ke jawa sinkretisme.

Tradisi keilmuan Ronggowarsito adalah singkretisme Islam, Hindu, Budha, Animisme-Dinamisme, dan kejawen. Sebagaimana jamak dipahami bahwa sejak runtuhnya dominasi tardisi ilmu Islam pada era kerajaan Demak. Penyebaran agama Islam merangsek ke arah pedalaman selatan, yaitu kerajaan Pajang (mungkin sekarang sekitar Klaten). Selanjutnya, setelah era keemasan Pajang runtuh, semakin ke selatan, yaitu kerajaan Mataram di Surakarta. Di era kerajaan mataram ini, Ronggowarsito memberi kontribusi berkembangnya ilmu agama-jawa. Ia besar pada lingkungan keluarga seni, ketururanan dari kerajaan majapahit dan Pajang. Ilmu agama Islam, selain diperoleh dari darah asal dan keluarga (Mataram), ia juga pernah nyantri di pesantren Kyai Hasan Besari, Tegalsari, Ponorogo. Gus Dur dan pendiri pondok pesantren Modern Gontor, diantara keturunan Kyai Besari.

Konsep manunggaling kawulo gusti merupakan inti ajaran wirid hidayat jati, artinya cita-cita hidup yang harus dicapai oleh manusia adalah mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhan, dengan jalan manekung (bersemedi). Manunggaling kawulo lan gusti akan dicapai oleh manusia yang sempurna yakni manusia yang segala tingkah laku dan perbuatannya mencermikan perbuatan Tuhan. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang hidup pribadinya telah diserahi kekuasaan Tuhan sehingga ia melihat, mendengar, mencium dan berbicara atas nama kuasa Tuhan.

Menurut ibnu al-‘Arabi, yang didasarkan pada sebuah hadits Qudsi, bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah swt sebagai konsekuensi dari kerinduan-Nya untuk dikenali. Kerinduan demikian merupakan konsekuensi langsung dari esensi-Nya sebagai dzat pengasih dan penyayang. Penciptaan alam semesta, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya karena Tuhan rindu untuk dikenali, diketahui. Karena itu, Dia meciptakan (makhluk) sebagai tempat imanen-Nya. Tuhan tidak hanya berkuasa mencipta, tetapi juga mewujud pada semua ciptaan-Nya melalui sifat-sifat-Nya dan/atau al-asma’ al-husna. “Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah swt berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah swt maha kuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah swt benar-benar meliputi segala sesuatu” (QS. at-talaq/65: 12).

Kewajiban manusia adalah mengembalikan pada kesucian dasar ruhnya seperti sedia kala. Kehidupan di alam dunia, bagi manusia adalah tempat untuk menguji, apakah ia berkomitmen terhadap janjinya saat di alam jabarut. Setiap ruh di alam jabarut bersaksi dan mengakui bahwa Allah swt adalah rab-nya. Setelah ia disatukan dengan jasmani dan dilahirkan ke dunia, maka ia menjalani hidup sebagai Malaikat dan Syaithon; taat dan kufur kepada Allah swt. Kedua orientasi hidup manusia ini saling mempengaruhi, saling mendominasi dalam proses perjalanan hidupanya. Dalam kemudahan dan kesulitan hidup, kesenangan dan kegembiraan, keluasan dan kesempitan ia diuji kesetiaannya terhadap jalan keilahian. Dengan demikian, hidup di dunia bagi manusia adalah tempat ujian ketaatan sejati.

Dipersimpangan jalan itulah, setiap ruh mengalami proses pengujian.  Aspek lahuttiyah dan nasuthiyah manusia berproses saling mempengaruhi dan mendominasi. Maka tugas individu manusia adalah mengutamakan lahutiyah ketimbangkan nasuthiyah, diantaranya dengan jalan membakar kefana’an jasmaniyah diri. Aspek jasmaniyah manusia adalah tidak abadi, sedangkan aspek ruhiyyah adalah abadi. Ruhiyyah inilah yang akan mempertanggungjawabkan semua perilakunya selama di dunia. Membakar kefana’an diri berfungsi untuk menyatukan ruh dengan ruhullah. Inilah yang disebut sebagai manunggaling kawula-gusti . #Nur Kholis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top