Kezuhudan Mush’ab bin Umair

teradesa.com. Para jamaah haji atau Umrah yang sedang berziarah ke Gunung Uhud, jangan lupa mendokan para syahid saat peperangan Uhud terjadi. Saya-pun teringat dengan kisah sahabat Rasulullah saw, yang bernama Mush’ab bin Umair. Beliau-lah yang selalu membawa bendera Islam saat perang Uhud. Qodarullah, Mush’ab bin Umair syahid pada saat seorang kafir Qurays menikamnya dengan tombak.

Mush’ab bin Umair adalah pemuda yang sangat beruntung, ia terlahir dari kedua orang tua keturunan bangsawan dan kaya raya. Orang-orang Makkah sangat segan dan hormat terhadap keluarga ini. Ibunya adalah Khunas binti Malik bin al-Mutahrif bin Wuhaib bin Amr bin Hujair bin Abdu bin Mu’ish bin Amir. Sedang ayahnya adalah Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdu Dar bin Qushay bin Kilab al-Qurasyi.

Sejak kecil Musb’ab hidup dalam kemewahan dan dimanjakan. Ia sangat tampan, rambutnya selalu wangi, pakaiannya mewah dan bermerk, sandalnya al-Hadrami. Jika ia melewati suatu jalan, maka wanginya masih bisa dirasakan orang-orang sekelilingnya. Ibunya selalu menyediakan bejana berisi makanan-makanan dan minuman lezat disamping tempat tidurnya. Oleh karena itu, banyak perempuan cantik dari kalangan bangsawan Quraisy yang ingin menjadi istrinya.

Ia sangat dihormati dan disegani dikalangan orang-orang Makkah. Mush’ab bin Umair diberikan hak istimewa, diperbolehkan untuk mengikuti pertemuan-pertemuan para pembesar Quraisy. Dan, ia satu-satunya pemuda yang diperbolehkan mengeluarkan pendapat dalam pertemuan para pembesar Quraisy tersebut.

Suatu ketika, Mush’ab bin Umair mendengar kabar tentang Rasulullah dan agama Islam yang didakwahkannya. Ia-pun mencari Rasulullah saw secara diam-diam untuk tujuan mendapatkan dakwah langsung dari Rasulullah saw. Saat itu, ia dapat bertemu Rasulullah saw di rumah Arqom bin Abi Arqom. Mendengar secara langsung dari Rasulullah  saw, Mush’ab bin Umair langsung menyatakan dan bersyahadat (masuk Islam) dihadapan Rasulullah saw.

Berita masuknya Mush’ab bin Umair kedalam agama Islam, didengar oleh ibunya, Khunas Binti Malik. Ibunya mogok makan dan jatuh sakit. Dalam kondisi demikian, ibunya tidak berhasil membujuk Mush’ab bin Umair agar ia mau meninggalkan agama Islam. Ibunya marah, menyiksa Mush’ab bin Umair, dan, bahkan mengusirnya dari rumah, serta mencabut seluruh hak istimewa dan kemegahan fasilitas hidup yang selama ini diberikan oleh keluarganya.

Mush’ab bin Umair bersedia, dan bertekad meninggalkan semua kemewahan itu untuk membantu dakwah Rasulullah saw dan bekerja sebagai penjual kayu bakar. Pada saat Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Mush’ab bin Umair mendampingi dan menjadi sahabat yang baik dan taat. Ali bin Abi Thalib bercerita, “suatu ketika kami duduk bersama Rasulullah saw di masjid. Lalu muncul Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menangis teringat tentang kemewahan Mush’ab sebelumnya” (HR. Tirmidzi).

Zubair bin al-Awwan mengatakan, suatu ketika Rasulullah saw sedang duduk dengan para sahabat di masjid Quba, lalu muncul Mush’ab bin Umair dengan kain burdah yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Para sahabat-pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Mush’ab bin Umair betul-betul telah meninggalkan kemewahan duniawi demi kebahagiaan di akhirat.

Di ujung hidupnya, pada saat syahid di gunung Uhud. Ia hanya memiliki kain lurik, tidak begitu panjang dan lebar. Apabila kain itu ditutupkan mulai kepalanya, maka terlihatlah kakinya. Dan, sebaliknya. Maka, Rasulullah saw menyarankan kepada para sahabat untuk menutupkan mulai kepalanya. Dan, kakinya yang terlihat, Rasulullah meminta untuk ditutupi dengan tumbuh-tumbuhan idzkhir, yaitu tumbuh-tumbuhan yang berbau wangi.

Rasulullah saw memuji dan mengatakan hal-hal yang baik tentangnya. Beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab bin Umair tatkala bersama kedua orang tuanya di Makkah. Keduanya memuliakan dia dan memberikan berbaai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridla Allah swt dan menolong rasul-Nya” (HR. Hakim).

Penulis: Nur Kholis

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top