teradesa.com. Teologi merupakan ilmu yang membahas tentang keyakinan merupakan sesuatu yang fundamental dalam agama. Teologi juga dapat dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama atau ilmu tentang Tuhan. Oleh karena itu, istilah teologisasi merujuk pada kecenderungan untuk menggunakan sudut pandang teologis dalam memperbincangkan dan mendiskusikan segala permasalahan tentang manusia.

Agama Kristen pada abad pertengahan menganggap teologi sebagai, the queen of the sience, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritif. Di mana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis ini. Jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan. Menurut al Ghazali, teologi adalah kunci keselamatan. Siapa yang ingin selamat dan diterima ibadahnya, maka ia harus mendalami ilmu ini.

Agama seringkali dipahami sebagai sumber gambaran yang sesungguhnya mengenai dunia ini. Ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala kebutuhan manusia, bahkan tidak jarang agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”.

Berangkat dari sanalah akhirnya tumbuh berbagai macam konflik. Kemudian sebagai tanggapan akan hal itu. Orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dan masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini. Yang menjadi kritik terhadap agama adalah pemikiran-pemikiran keagamaan yang terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual (normative).

Ini, berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berkaitan dengan tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyaatan yang terjadi di masyarakat. Melihat kenyataan yang semacam inilah, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini cenderung normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh manusia.

Oleh karena itulah diperlukan adanya pendekatan-pendekatan teologis yang lebih kontekstual “membumi”, sehingga dapat dinikmati oleh manusia dan tidak bertentangan dengan kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang ada pastinya.

Sebagai suatu ilmu tentang ketuhanan, teologi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam upaya membentuk pola pikir yang nantinya akan berimplikasi pada perilaku keberagamaan seseorang. Untuk membentuk pola pikir, diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang berfungsi sebagai suatu cara untuk melahirkan pemikiran teologis  baru, baik pemikiran tradisional, liberal, ataupun modern.

Istilah teologi-normatif berasal dari dua kata yang dihimpun menjadi satu istilah, yaitu kata teologi dan normatif. Kata teologi berkaitan dengan agama dan ketuhanan. Sedangkan normatif berkaitan dengan sikap yang berpegang teguh dan patuh terhadap norma atau prinsip. Kedua kata ini kerap bersanding dalam banyak hal, seperti pada kajian studi Islam dan menghasilkan satu cabang keilmuwan masa kini.

Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu theos dan logos. Theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Kedua kata ini kemudian bergabung menjadi teologi yang berarti ilmu ketuhanan. Sedangkan kata normatif berasal dari Bahasa Inggris norm yang berkaitan dengan upaya manusia untuk selalu berada dalam norma yang berlaku di masyarakat.

Pendekatan normatif dapat dikatakan sebagai pendekatan legal-formal. Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Yang dimaksud dengan legal-formal disini adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak dan sejenisnya.

Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dalam hubungan ini, Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas.

Seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih, ahli hukum Islam, tafsir, dan hadits ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran Islam dari sumbernya termasuk pendekatan normatif.

Dari berbagai pendekatan-pendekatan teologis yang ada, pendekatan teologis normatif adalah salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama secara harfiah. Pendekatan normatif-teologis ini dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar jika dibandingkan dengan yang lain.

Hal tersebut memberikan dampak dan pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku para pengikut teologi normatif ini. Pemikiran teologi yang keras akan mendorong pengikutnya menjadi agresif dan pemikiran teologi yang “kalem” akan membawa pengikutnya untuk bersikap deterministik dan “pasrah”.

Kajian teologi Islam yang menggunakan pendekatan normatif masih bersifat teosentris, atau menurut Amin Abdullah, masih didominasi oleh pemikiran yang transedental-spekulatif yang kurang menyinggung masalah-masalah insaaniyat (humaniora) yang meliputi kehidupan sosial, politik, dan sebagainya dan aspek sejarah (tarikhiyat).

Di samping itu, secara metodologis, kajian teologi yang menggunakan pendekatan tersebut juga masih menggunakan logika Aristotelian yang bersifat deduktif, dan setidaknya pemikiran yang digunakan masih diwarnai oleh gaya pemikiran Yunani yang spekulatif.

Dari pemikiran teologi di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis semacam ini dalam paham keagamaan adalah menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing teologinya mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan selainnya salah.

Kondisi teologi yang seperti ini masih terus berlangsung dan berkembang sampai sekarang. Padahal, model pemikiran teologis yang seperti ini tidak memberikan dampak yang kondusif bagi perkembangan pemikiran dan tindakan masyarakat, tetapi justru sebaliknya.

Menjadi penting untuk diketengahkan mengenai asumsi dasar tentang Islam itu sendiri bila didekati dengan pendekatan normatif-teologis. Hal ini perlu dilakukan untuk memperjelas tipologi Islam yang akan dikaji dan dipahami dengan pendekatan normatif-teologis tersebut.

Adapun asumsi dasar tersebut diantaranya adalah Pertama, Islam sebagai Wahyu. Islam sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.

Kedua, Islam sebagai doktrin. Islam yang berisi tentang ajaran-ajaran yang mampu membawa manusia pada keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan batin selama berpegang teguh pada pokok-pokok ajaran Islam.

Ketiga, Islam sebagai pandangan hidup (way of life). Syari’ah Islam tidak hanya  mengatur masalah ritual, tata negara, interaksi sosial, budaya, ekonomi, bahkan etika keseharian juga dijelaskan.

Islam sebagai agama yang berisi tentang ajaran-ajaran, norma dan dogma, tentunya dapat juga dipahami dengan pendekatan normatif. Adapun sebagai domain (wilayah) dan tema dalam studi Islam melalui pendekatan normatif ada dua poin penting, yakni; Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang otentik. Pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam

Dalam aplikasinya, pendekatan ini barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qath’i sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Namun, kehadirannya diakui, bahkan diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas, seperti slametan, tahlilan atau kenduren.

Dari berbagai uraian di atas, terlihat bahwa pendekatan normatif-teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya. Ajaran yang berasal dari tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.

Tentunya, sebagai sebuah paradigma, pendekatan normatif memiliki sisi kelebihan sekaligus kekurangan dalam memahami dan mengkaji Islam. Sisi-sisi yang menjadi kelebihan dari pendekatan ini adalah loyalitas beragama dan fanatisme beragama. Sementara itu, sisi-sisi yang menjadi kekurangan dari pendekatan ini adalah bersikap ekslusif dalam beragama, dogmatis (pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang baik dan benar), tidak mengakui kebenaran orang lain, dan mudah tergelincir dalam pola pikir yang cenderung menyerang pola pikir dan keimanan yang dimiliki oranglain.

Blitar, 17 September 2022

Penulis: Alfayn Zuraida Zulfa, Fianti Rosyidah, Sholahuddin al-Chaq, Laili Linnasrillah, & Ulfi Nur Hasanah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here