teradesa.com. Ungkapan pengalaman keagamaan banyak dipengaruhi oleh bahasa yang telah diterima sebagai suatu kesepakatan sosial, demikian pendapat Steven Katz, dalam artikelnya yang berjudul Language, epistemology, and misticisme.
Antara pengalaman keagamaan riil yang dimiliki oleh setiap orang tidak semuanya dapat diungkapkan atau dideskripsikan kepada orang lain (umum). Biasanya ungkapan pengalaman keagamaan disesuaikan dengan kemampuan penerimaan pihak lain. Misalnya Kyai tidak akan mengungkapkan suatu yang akan terjadi/menimpa secara gamblang. Mungkin akan menggunakan kalimat tamsil.
Nabi Muhammad saw ketika menjelaskan pengalaman keagamaan dalam isra’ mi’raj penerimaan umat pada saat itu terbelah mebjadi dua. Pertama, mempercayainya, seperti Abu Bakar as. Kedua, menolak dan menyebut Nabi telah berbohong. Dalam kajian komunikasi, fenomena ini dapat dianalisis menggunakan teori resepsi.
Semakin banyak kosa kata dan pengalaman kebahasaan dalam suatu komunitas, maka ungkapan pengalaman keagamaan juga semakin mendalam dan luas. Simplifikasi ungkapan pengalaman keagamaan bagi seseorang lebih disebabkan faktor keterbatasan penguasaan bahasa atau pilihan diksi yang tepat.
Sering kita mendengar ceramah atau guyonan keagamaan yang sebetulnya secara content sering didengar dan sederhana. Tetapi, karena dikemas dalam bahasa yang lugas dan agamis maka terdengar baru dan menyenangkan. Tipikal demikian, misalnya Gus Dur (al-maghfurllah). Demikian juga dengan cak Lontong atau Mario Teguh.
Berbeda dengan pandangan Katz. Para sufistic dan peneliti sufisme, Carl W. Ernst, justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya bahwa sumber utama bahasa mereka justru bersumber dari pengalaman keagamaan, dan bukan sebaliknya.
Keadaan-keadaan mistikal bukanlah merupakan hasil dari upaya, melainkan barakah (grace) dari Tuhan. Demikian pandangan Qusyairi. Dilain pihak, Ruzbihan Baqli meyakini bahwa kata-kata itu bersumber dari tempat pemberhentian rahasia keadaan-keadaan mistikal, kerinduan-kerinduan ma’rifat dan pancaran cahaya penyibakan (kasyf).
Itulah, mengapa para wali songo mengahakimi Syech Siti Jenar. Dan, kaum awam memberi predikat “gila” terhadap sifistic yang berada pada tahap zadab. Ungkapan-ungkapan mereka dianggap nyeleneh dan tidak masuk akal. Masyarakat awam menggunakan cara berfikir rasional logis, sementara kaum sufistic menggunakan cara berfikir spiritual rohaniah yang bersifat imajinal.
Nur Kholis
LSP Community