teradesa.com. Setiap individu memiliki hal yang dibanggakan, baik pengetahuan, keterampilan, atau status sosial, yang menumbuhkan rasa gengsi dan keinginan dihargai. Dalam konteks ini, saling menghormati menjadi keniscayaan untuk keharmonisan sosial. Penghargaan terhadap orang lain melibatkan pengakuan atas waktu, tenaga, dan pikiran mereka, karena setiap individu menyumbang nilai unik yang dapat memperkaya dinamika sosial.
Setiap orang, terlepas dari status sosialnya—pebisnis, petani, seniman, peternak, atau guru—memiliki kebanggaan tersendiri yang memberikan makna bagi identitas mereka. Ketika kebanggaan ini diabaikan atau diremehkan, ketersinggungan dapat muncul, baik secara implisit maupun eksplisit. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik, karena penghinaan terhadap nilai seseorang sering dianggap sebagai serangan langsung terhadap harga dirinya.
Dalam sosiologi mikro, konflik akibat gengsi individu terjadi pada tingkat interpersonal, misalnya ketegangan antara rekan kerja karena persaingan pencapaian. Pada sosiologi makro, hal ini tampak dalam relasi antar-organisasi atau antar-negara, seperti persaingan ekonomi dan politik antara negara-negara besar yang mempertahankan dominasi mereka. Kedua konteks menunjukkan bagaimana status dapat memicu konflik sosial jika tidak dikelola dengan bijak.
Ketegangan sosial-mikro, seperti kasus guru honorer Supriyani yang berawal dari perselisihan antara guru dan orang tua murid, dapat meningkat ke level sosial-makro ketika isu tersebut memicu respons masyarakat luas dan perhatian pemerintah. Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika mikro berpotensi memengaruhi struktur makro, di mana konflik kecil dapat menjadi agenda nasional jika menyentuh kepentingan publik.
Kasus ini dipicu adanya “perasaan gengsi” individu yang bersumber dari keinginannya untuk dihargai. Dan, pembelaan “kasih-sayang” terhadap anak yang melampaui batas kewajaran. Seharusnya kewenangan individu tidak boleh lintas institusi. Dalam konteks pendidikan, maka semua orang harus menundukkan kewenangan sosialnya pada level kewenangan individu, sehingga ia dapat tunduh patuh terhadap kewenangan guru-guru di sekolah.
Dalam konteks norma etik, ketundukan dan penghormatan kepada guru menjadi fondasi penting dalam pembentukan karakter moral yang baik. Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai sarana meningkatkan kecerdasan, tetapi juga sebagai wahana pembentukan akhlak. Kepatuhan pada guru merupakan bentuk pengakuan atas otoritas moral dan ilmu, yang diyakini akan membawa keberkahan serta nilai kehidupan yang luhur bagi siswa.
Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan murid yang cerdas sekaligus berakhlak. Untuk mencapai karakter demikian, teori behavioristic menekankan pentingnya sistem reward dan punishment. Reward berfungsi sebagai motivasi positif yang mendorong perilaku baik, sedangkan punishment bertujuan memperbaiki perilaku negatif. Keduanya bekerja bersama, membantu siswa memahami konsekuensi dari setiap tindakan, sehingga terbentuk karakter yang seimbang antara kecerdasan dan moralitas.
Implementasi teori behavioristik dalam pembelajaran di sekolah melibatkan penguatan (reinforcement) melalui reward dan punishment untuk membentuk perilaku siswa. Misalnya, guru memberi pujian atau hadiah bagi siswa yang berprestasi atau berperilaku baik, sementara konsekuensi diberikan atas pelanggaran. Pendekatan ini bertujuan mengondisikan respon positif dan mengurangi perilaku negatif.
Kepolisian seharusnya tidak mencampuri kewenangan guru dalam menjalankan tugasnya di sekolah, karena seluruh metode pendidikan yang diterapkan didasarkan pada teori dan prinsip paidagogis. Kriminalisasi terhadap tindakan guru dalam pembelajaran melemahkan otoritas mereka dan mengganggu proses pendidikan. Oleh karena itu, urgensi menghormati profesionalisme guru, agar mereka dapat berperan optimal dalam membentuk karakter siswa tanpa ketakutan akan intervensi hukum. Cak Nur