teradesa.com. Tulisan ini digerakkan oleh pertanyaan sederhana. Mengapa ada orang yang baik dan jahat? Bukannya semua jiwa manusia sama? Selalu condong kepada kebenaran sekaligus kebaikan? Al-Qur’an menyebutnya dengan al-hanif.
Ki Hajar Dewantoro menjelaskan bahwa jiwa manusia merupakan diferensiasi dari kekuatan-kekuatan, yang disebutnya “tri-sakti”. Ketiga kekuatan yang dimaksudnya adalah pikiran, rasa, dan kemauan.
Kemauan bersumber dari nafsu-nafsu kodrati, dorongan, keinginan, dan insting. Hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia memiliki kemauan ini. Oleh karena itu, ketiganya pada hakikatnya memiliki jiwa. Unsur jiwa yang paling rendah adalah kemauan.
Meskipun toh demikian, kemauan tetap didasarkan pada pengetahuan. Pada tulisan sebelumnya saya banyak mengulas tentang pengetahuan. Pengetahuan yang terendah adalah pengetahuan indrawiyah. Semua makhluk memiliki tingkat pengetahuan. Dengan demikian, kemauan selain digerakkan insting, juga dipandu oleh pengetahuan indrawiyah.
Hewan, tumbuhan dan manusia memiliki pengetahuan dan kemauan. Karena pada hakikatnya setiap ciptaan Allah swt dilengkapi dengan insting dan pengetahuan indrawiyah (ruh/jiwa). Insting dan pengetahuan indrawiyah hanya berfungsi untuk pertumbuhan eksistensinya.
Hewan dan tumbuh-tumbuhan memiliki pengetahuan dan insting; makan, minum, dan berkembang biak, begitu halnya dengan manusia. Ketiganya (makan, minum, & berkembang biak) merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhannya. Dengan demikian, seseorang yang hanya fokus pada tiga hal ini, maka tidak ada bedanya dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Manusia harus bergerak pada level yang lebih tinggi, selain tumbuh, juga harus berkembang. Berkembang memiliki makna telah dicapainya level jiwa rasa dan pikiran (analisis-logic). Disinilah, letak yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Manusia, selain dapat tumbuh, sekaligus dapat berkembang.
Kemampuan (potensi) berkembang itulah yang menyebabkan manusia menerima amanah kekhalifahan di bumi. Tugas utama kekhalifahan manusia adalah memakmurkan bumi. Memakmurkan adalah mengelola bumi dan kesemestaan ini untuk eksistensi manusia itu sendiri. Karena memang hakikat penciptaan alam hanya diperuntukkan bagi manusia. Kemampuan memakmurkan bumi dapat dilakukan hanya jika seseorang bergerak mencapai level berkembang (memiliki rasa & pikiran, etika & estetika).
Jika kita dapat mensinonimkan rasa dan pikiran dengan berkembang, maka ini berarti etika dan estetika bagian didalamnya. Karena sesungguhnya hanya manusia yang memiliki sifat jiwa estetika dan etika. Hewan memiliki kemauan tetapi tidak memiliki etika dan/atau estetika, baik saat makan, minum, maupun perkembang-biakan (seks).
Immanuel Kant, menjelaskan estetika sebagai ilmu tentang menertibkan bekerjanya panca indra dalam hubungan dengan alam dan zaman. Sedangkan Baumgarten, menjelaskan estetika sebagai ilmu tentang kesempurnaan pandangan panca indra. Dan, etika disebutkan oleh Kant sebagai transzendentale logic.
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa kejahatan manusia adalah akibat dari tidak dimilikinya; rasa dan pikiran, estetika dan etika. Orang-orang yang jahat didominasi oleh pengetahuan indra yang bersifat dangkal, dan hanya mementingkan ego-insting kemauan.
Panca indra hanya mampu meneropong hal-hal yang bersifat lahiriyah. Maka tugas rasa dan pikiran yang menganalisisnya sesuai pengetahuan internal, nilai-nilai, norma dan kehendak kolektifnya. Tugas estetika dan etika-lah merefleksikan hasil jepretan panca indra menjadi pengetahuan dan pemahaman yang tertib-manusiawi. Sebagai tambahan, yang menarik untuk analisis lagi adalah hubungan antara etika-estetika, rasa-pikiran dengan taqwa?. Cak Nur