Makna Ber-kopi-ria

teradesa.com. Minum kopi merupakan tradisi masyarakat Indonesia sejak zaman kolobendu. Tua, muda, kecil, laki-laki dan perempuan banyak yang suka kopi. Sebagian kecil saja yang menganggap kopi merupakan minuman bagi perokok. Padahal nggak juga, banyak yang tidak merokok tetapi menyukai kopi. Karenanya, dapat dikatakanya kopi merupakan minuman khas rakyat.

Maraknya penyuka kopi menimbulkan multiple effect yang menarik untuk dikaji. Baik, dari aspek ekonomi, kebijakan politik, maupun sosial. Kali ini, penulis hanya menganalisisnya dari aspek sosial—secara sederhana dan ringan-ringan saja. Toh, hari libur, sebaiknya diisi dengan hal-hal yang rileks. Tentu, saya menulis ini sambil sesekali nyeruput kopi.

Maraknya tradisi ngopi di masyarakat menimbulkan peluang usaha warung kopi, café dan sebagainya. Pada tahun 2006-an, café dimaknai sebagai tempat minuman keras, karaoke, dan tentu ada pendamping karaoke (purel). Saat itu, data yang terhimpun di CESMiD foundation, di Tulungagung bahwa ada 700 café, yang tergabung dalam Paguyuban Warung Hiburan Tulungagung (PAWAHITA).

Pergeseran makna café dimulai pada tahun 2010an. Café berubah makna sebagai tempat kongkow sambil menikmati kopi. Menikmati kopi tidak lagi hanya di warung-warung kecil, tetapi sudah terpoles dengan sifat & watak subyektif penikmatnya. Pengusaha di bidang per-kopi-an mulai berbenah mengikuti gaya konsumen. Ngopi, tidak lagi sebagai kebutuhan untuk menikmati kopi, tetapi sebagai citra diri—begitulah, berubah menjadi masyarakat konsumen.

Menurut Baudrillard, ciri dari masyarakat konsumen adalah masyarakat yang didalamnya terjadi pergeseran logika konsumsi, yaitu; dari logika kebutuhan menjadi logika hasrat. Masyarakat tidak mengonsumsi suatu komiditi hanya karena fungsi/nilai produk saja, melainkan didalamnya mengandung nilai tanda. Berlama-lama di warung kopi, dan café buka hanya ingin menikmati kopi doang, tetapi lebih dari itu.

Dalam pandangan Marx, ada dua aspek dalam komoditas, yaitu: use value dan exchange value. Nilai guna (use value) merupakan kegunaan dari suatu objek/produk komiditi dalam pemenuhan kebutuhan tertentu. Sedangkan, exchange value menekankan aspek nilai tukar yang terkait dengan nilai produk itu di pasar, atau objek yang bersangkutan. Tentu, sangat beragam aspek exchange value dari tradisi minum kopi. Setiap konsumen dapat memaknai secara berbeda, sesuai; kepentingan, harapan, dan persepsinya.

Lebih jauh, Baudrillard menegaskan bahwa sebuah komoditi/objek tidak hanya memiliki use value dan exchange value, sebagaimana pandangan Marx. Tetapi setiap objek, juga memiliki symbolic value dan sign value. Setiap orang yang menikmati kopi, di warung kopi atau café tidak lagi mengonsumsi sebuah objek berdasarkan kegunaan dan nilai tukarnya. Tetapi, juga karena terdapat nilai simbolik dan nilai tanda yang bersifat abstrak. Tentu, hanya mereka yang dapat mengabstraksi, memaknai, dan mengungkapkannya.

Abstraksi setiap orang berbeda-beda dalam berkopi-ria. Banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, misal; tuntutan pekerjaan, bersantai, hoby, sosialita, dan teknologi komunikasi. Berkongkow di café tidak mesti hanya untuk menikmati kopi, karena faktanya ada yang beli teh, jahe susu, jeruk, es campur, jus, hehehe. Tetapi bukan itu maksud dari pandangan serius Marx dan Baudrillard di atas.

Menikmati kopi bersama kolega, sejawat, partner kerja, dan kolaborat sosial dan politik, semacam menjadi keharusan di era saat ini. Mereka yang sering ke warung kopi atau café, bukan hanya untuk menghilangkan suntuk, ngantuk, membicarakan pekerjaan, dan proyek. Tetapi ada juga yang untuk mengisi content medsosnya. Dan, lanjutkan sendiri ya, sesuai kepentingan pembaca masing-masing. Cak Nur

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top