teradesa.com. Tidak mudah memang, memaknai hidup dan kehidupan. Tentu, sangat terkait dengan pengalaman hidup masing-masing individu. Begitulah—makna hidup bersifat subyektif. Pengalaman itulah yang menghantarkannya memiliki persepsi yang beragam bagi setiap hamba.
Allah swt adalah pendidik (rab) yang mengerti tentang ragam kebutuhan manusia. Karenanya “problem possing” yang diajarkan-Nya bagi masing-masing individu manusia beragam. Tentu, sesuai dengan kapasitas masing-masing hambanya. Allah swt tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai kemampuannya (QS. al-Baqarah/02: 286).
Dari ragam pengetahuan dan pengalaman itulah melahirkan pemaknaan hidup dan kehidupan yang selalu dinamis dan penuh rona bagi setiap individu. Ada yang pahit, manis, getar, lembut, keras, dll. Sesungguhnya semua itu bertujuan untuk kedewasaan masing-masing individu dalam berhamba.
Rona kehidupan yang diajarkan Allah swt kepada masing-masing individu adalah seperangkat tool yang diterima oleh individu. Pola respon individu itulah, sejatinya yang akan menentukan bentuk kedewasaan dalam berhamba. Pola respon adalah ditentukan oleh mindset individu dalam memaknai hidup dan kehidupan.
Tentu, masing-masing individu memliki pola respon yang berbeda. Hanya hamba yang bersikap ikhlas, sabar, ridla, dan selalu berikhtiar untuk lebih baik-lah yang akan menjadi insan paripurna. Bentuk dan pola respon menjadi indikasi terhadap kedewasaan dan ketaqwaan hamba.
Terbentuknya paripurna hamba didasarkan oleh sikap cinta hamba kepada Allah swt. Cinta itu-lah yang akan mendorong diri untuk selalu berfikiran positif terhadap semua takdir-Nya. Keragaman takdir itu-lah bagian dari cara Allah swt mendidik hamba-Nya. Baik, takdir yang membahagiakan maupun yang menyedihkan.
Cinta kepada Alah swt sejatinya merupakan buah dari sikap ridla, ikhlas, sabar, dan ihsan terhadap semua takdir-Nya. Allah swt selalu memiliki rencana yang baik bagi hamba-Nya. Dalam setiap kemudlaratan selalu ada kebaikan. Dan, begitu pula sebaliknya. Karena memang sejatinya semua fenomena keduniawian adalah relatif.
Penderitaan-kebahagiaan, kemudlaratan-kebaikan, kesempitan-kelapangan—dan kesemuanya merupakan hukum alam yang menjadi unsur utama dalam teori relatifitas dan fungsionalitas-organisme. Setiap penderitaan selalu menghasilkan pola baru dalam proses penyesuaian yang bermuara pada equilibrium menuju titik kebahagiaan baru. Begitu, pula sebaliknya dan seterusnya.
Dalam proses dinamika itulah selalu terselipkan nilai-nilai—yang apabila direspon secara husnuzdon akan menghasilkan hikmah. Hikmah adalah makna yang mewujud dibalik semua peristiwa (taqdir hamba). Hikmah berasal dari kata “hakama” artinya menghalangi. Seperti hakam menghalangi dari suatu penganiayaan. Atau, menghalangi seseorang dari sikap statis.
Kemampuan seseorang mengambil hikmah dari setiap peristiwa akan menghalangi baginya bersikap dan berperilaku yang tidak baik. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, kata hikmah selalu dikaitkan dengan kehidupan, akal, keadilan, keilmuan, pemikiran, dan kebaikan sebagai hubungan saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kebijaksanaan.
Kemampuan mengambil hikmah dari setiap peristiwa (taqdir) dapat melahirkan dunia dan/atau pola baru. Hal demikian memungkinkan setiap pola lama digantikan oleh pola baru, dan pola yang lebih baru lagi. begitulah hidup dan kehidupan selalu bersifat dinamis berdasar kemampuan mengambil hikmah dan pemaknaan hidup yang lebih baik sesuai standar hidup yang dikehendaki Allah swt. Cak Nur