Manusia Dilengkapi dengan Akal Agar Beragama, Begini Penjelasannya

teradesa.com. Syaikh Muhammad Abdullah Badran (Guru besar Universitas al-Azhar, Mesir) menjelaskan bahwa agama (al-diin) digambarkan sebagai hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang kedua. Semua kata dalam Bahasa Arab yang terbangun dari huruf; dal, ya’ dan nun, misalnya dain (hutang), dana yadinu (menghukum atau taat). Kesemuanya menggambarkan interaksi antara dua pihak yang memiliki kedudukan beda.

Tuhan, dalam agama memiliki kedudukan yang lebih berkuasa terhadap hamba (diri yang beragama). Karena memiliki kedudukan yang lebih tinggi, maka Tuhan haruslah dzat yang memiliki kualitas lebih dibandingkan dengan hambaNya. Tuhan tidak membutuhkan apapun dari hambanya atau dari dzat-dzat lainnya. Dengan demikian, manifestasi beragama adalah didorong oleh kelemahan atau keterbatasan diri suatu hamba.

Setiap manusia, dengan segala keterbatasanya itu kemudian membutuhkan agama. Agama dalam kajian ini dapat dipahami sebagai sumber nilai dan norma yang mengatur perilaku keberagamaan dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku keberagamaan adalah perilaku yang didasarkan pada tafsir atau pemahaman nilai, norma, dan ajaran-ajaran suatu agama. Secara universal, perilaku-perilaku individu yang didasarkan pada aturan agama memiliki fungsi untuk mengatur keindahan dan kebaikan semuanya.

Benih beragama pada setiap manusia adalah kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Ketika Adam a.s pertama kali diturunkan ke bumi, Allah swt memberi pesan agar mengikuti petunjuk yang pertama kali dilihat dan dialaminya (QS. al-Baqarah/2: 38). Keindahan alam semesta, dan kebaikan-kebaikan pola interaksi antara makhluk-makhluk yang terdapat didalamnya yang terlihat pertama kali oleh Adam a.s menjadi benih kesadaran keberagamaannya. Begitu halnya, ketika manusia mau merenungkan dan mengamati keindahan dan kebaikan semua fenomena alam jagat raya.

Pengamatan, renungan, refleksi, dan hasil kajian yang mendalam dan sistematis terhadap semua fenomena alam semesta, fenomena sosial, dan semua unsur diri manusia adalah merupakan sumber kebenaran pengetahuan manusia. Semua fenomena itu dihamparkan oleh Allah swt sebagai bahan/objek yang harus direnungkan, dikaji, dan diteliti sehingga menemukan kebenaran dan ujung-ujungnya melahirkan kesadaran berketuhanan (QS. Ali-Imran/3: 191).

Inilah maknanya mengapa manusia dilengkapi dengan akal, yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, yang tidak diberi akal. Akal memiliki fungsi untuk mengetahui tentang kebenaran dan kebaikan atau sebaliknya. Hanya manusia yang tidak memfungsikan akalnya secara maksimal yang tidak dapat mengetahui kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Oleh karenanya, mereka tidak beragama.

Jika diamati, direnungkan, dan dikaji secara mendalam semua fenomena-fenomena didalam alam semesta, fenomena sosial, dan semua unsur manusia, maka akan ditemukan kesesuaian dengan yang diinformasikan didalam al-Qur’an. Sekedar menunjuk beberapa contoh ayat saja, misalnya QS. al-Anbiya/21: 30; QS. Yasin/36: 40; QS. al-Rahman/55: 19-20. Dengan demikian, memaksimalkan fungsi akal bagi setiap manusia merupakan keharusan kemanusiaannya agar ia menjadi diri yang sesuai dengan tujuan penciptaannya (QS. Al-Dzariat/51:56). #Nur Kholis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top