Memaafkan

0
107

teradesa.com. Pada saat pembebasan kota Makkah (fathul Makkah), Rasulullah bertanya kepada orang-orang kafir, “Apakah kalian mengira bahwa aku akan melakukan balas dendam terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kami berharap engkau berbuat yang terbaik untuk kami, wahai saudaraku”. Nabi Muhammad saw memberi pengampunan massal, dan berkata, “Pergilah kalian, kalian semua itu bebas (tidak ada yang dihukum)!”.

Memaafkan merupakan ajaran Islam yang sangat mulia. Ia termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam. Salah satu cara menolak kejahatan adalah memberi maaf kepada orang yang berbuat salah. Menurut Ibn Al-Qayyim, bahwa memaafkan adalah menggugurkan hak untuk membalas dendam atau melawan karena kemurahan hati yang bersangkutan, meskipun ia dapat melakukan hal yang sama (balas dendam). Jadi, pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci maki, memusuhi orang lain yang telah menzhaliminya meskipun sebenarnya ia sanggup melakukannya.

Memaafkan merupakan puncak kemuliaan hati dan kebaikan seseorang. Secara historis,  sikap pemaaf tidak hanya menarik simpati musuh-musuh Islam untuk memeluk Islam, tetapi juga menunjukkan betapa keluruhan Islam dibangun atas fondasi kemanusiaan yang kokoh, persaudaraan, persatuan, perdamaian, dan toleransi.

Didalam QS. Fushshilat/41: 34-35) Allah SWT berfirman, “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan juga tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”.

Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT mendapat pahala (kebaikan dunia dan akhirat). “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (QS. Asy-Syura/42: 40).

Memaafkan kesalahan orang lain sejatinya merupakan wujud dari cara mengelola menikmati hidup yang bahagia. Alangkah menderita dan tersiksanya, jika seseorang terus-menerus menyimpan rasa dendam kepada orang lain. Alangkah sengsaranya jika hati seseorang dibebani oleh rasa emosi dan amarah yang tidak berkesudahan. Memaafkan karena itu, sesungguhnya jauh lebih menyenangkan dan lebih mulia daripada menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Hidup ini akan menjadi lebih indah jika ungkapan tiada maaf bagimu diubah menjadi aku sudah maafkan semuanya.

Internalisasi pemaaf pada diri seseorang mensyaratkan adanya sikap sabar dan mampu mengendalikan amarah. Marah, sebenarnya merupakan letupan emosi yang bersifat reaksioner terhadap stimulan yang kontradiktif dengan harapan, keinginan, realitas, dan kondisi obyektif. Jika kemarahan ini tetap diikuti, tidak dikendalikan, dan tidak bisa dikelola dengan baik maka ia akan menjadi sumber energi negatif yang berkembang dalam tubuh yang bersangkutan. Energi negatif yang berkembang dalam diri seseorang akan mewujud dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku yang serba menyalahkan (underestimate) terhadap apapun dan siapapun, semuanya menjadi tidak rasional dan tidak berdasar pada nilai-nilai, dan norma agama.

Agama Islam mengajarkan untuk mengendalikan marah dengan cara berwudlu, karena sejatinya orang yang kuat adalah yang dapat menahan diri dari marah, “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah telah bersabda: ”Bukanlah orang yang kuat itu orang yang selalu menumpaskan orang lain, sesungguhnya orang yang kuat itu adalah orang yang dapat mengawal (mengendalikan) diri ketika marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). #Nur Kholis.



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here