teradesa.com. Kemarin sore (18/11/2022), saya berkesemptan berdiskusi dengan para mahasiswa. Fokus kajian utamanya adalah bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan diri di era society 5.0. Agaknya, setting tema kajian ini (era society 5.0) keren, mungkin sebagian orang mengaggap, sok. Sebetulnya, ga juga. Bahkan saat ini, sadar atau tidak sadar kita sudah berada di era tersebut.
Kecanggihan temuan dan temuan baru—ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di aspek teknologi informasi telah merevolusi norma, nilai-nilai, dan perilaku manusia. Sebelumnya, manusia melakukan rekayasa teknologi industri, mulai dari jaman batu, besi, pabrikasi, dan komputer yang diintegrasikan dengan teknologi satelit. Ya, pembangunan dan peradaban manusia berpusat pada tools teknologi kebutuhan manusia.
Saat ini, itu semua terbalik. Teknologi digital, dengan berbagai teknologi pendukung lainnya, misalnya internet of things (IoT), artificial intelligence (AI) atau artificial intelleigence of things (AioT), robot, dan big data adalah dikembangkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan manusia. Manusia-lah pusat dari peradaban pascamodern. Artinya, semakin seseorang mengusai keempat unsur tersebut, maka ia akan semakin mengusai hidup dan kehidupan.
Hanya dibutuhkan dua hal bagi seseorang untuk dapat hidup dan berkembang kehidupannya, saat ini. Apa itu? Kreatifitas dan inovasi. Kreatifitas diperlukan seseorang agar tumbuh menjadi pribadi inovator. Jadi, inovasi tidak mungkin direalisasikan tanpa adanya cara berfikir, bersikap, dan berperilaku kreatif. Ada satu, mahasiswa bertanya. Bagaimana menumbuhkan pribadi kreatif?
“Membaca dan menulis”. Jawab saya. Saat ini ada ribuan, bahkan jutaan artikel dan buku-buku yang ada dalam genggaman kita. Sekali “klik” kita akan disodori ratusan, ribuan, bahkan jutaan informasi yang kita butuhkan. Anda tidak perlu bersuasah payah pergi ke toko buku, mengeluarkan banyak duit. Cukup bawa handphone/laptop, pesen kopi Rp. 5.000 dan duduk sejam, semua data tersimpan di laptop. Dan, kapan-kapan dapat dibaca secara offline.
Di dalam bukunya yang berjudul, Of Grammatology, Jaques Derrida mengkritik pandangan Ferdinan de Saussure (aliran strukturalisme) mengenai definisi bahasa. Terutama, pandangan Sausure tentang Logosentrisme dan fonosentrisme. Menurut Derrida bahwa kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa. Dan, kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan, dan memprioritaskan ucapan. Bagi Derrida, tulisan atau aktifitas menulis adalah primer, bukan ucapan.
Perkembangan ilmu pengetahuan berkembang karena adanya budaya menulis. Menulis dalam bentuk esai, artikel ilmiah, dan buku, ataupun bookchapter. Kemampuan menulis tidak datang dengan sendirinya. Ia harus dilatih, dibiasakan dan didukung dengan budaya membaca. Tidak hanya itu, mendiskusikan dalam kelompok kecil, sedang atau besar merupakan bagian yang niscaya. Menulis apa? Terutama adalah problem ilmu pengetahuan dan teknologi. Berikutnya adalah problem kehidupan sosial.
Problem akan memicu kita untuk mampu mendiskusikan dan menulis. Untuk mengetahui suatu masalah, lagi-lagi harus membudayakan membaca. Saking pentingnya, membaca. Ayat al-Qur’an yang diajarkan oleh Malaikat Jibril pertama kali kepada Nabi Muhammad saw adalah tentang membaca (iqra’). Bukan yang lainnya. Saya ingin mengakhiri tulisan ringan ini dengan pandangan Einstein. Ia menyampaikan bahwa urgensi memikirkan masalah-masalahnya, ketimbang solusinya dalam ungkapannya yang sangat terkenal.
“If I had an hour to solve a problem. I’d spend 55 minutes thinking about the problem, and 5 minutes thinking about solutions”. –A. Einstein.
Penulis: Cak Nur